Nusa Dua, Bali (ANTARA) - Deputi Bidang Sistem dan Strategi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Raditya Jati mengatakan penguatan resiliensi adalah sebuah tanggung jawab yang diperlukan dalam penanganan bencana.
Hal itu dikarenakan 42 persen dari 514 kabupaten/kota di Indonesia memiliki risiko bencana yang tinggi, sementara sisanya, menurut Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) tahun 2020 memiliki risiko bencana sedang.
"Oleh sebab itu, penguatan resiliensi bukanlah suatu pilihan, melainkan sebuah tanggung jawab yang sangat diperlukan," ujar Raditya dalam keterangan tertulis diterima di Nusa Dua, Bali, Selasa.
Pada pertemuan awal Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) 2022, Raditya menambahkan tidak ada solusi tunggal dalam penanggulangan bencana yang dapat digunakan untuk konteks yang sama di daerah berbeda.
Hal ini, lanjutnya, memosisikan pemerintah daerah menjadi ujung tombak untuk meningkatkan pembangunan yang tangguh dan berkelanjutan.
Dalam tatanan global, program Making Cities Resilient 2030 (MCR 2030) mendukung penguatan resiliensi suatu kota untuk memastikan kota atau kabupaten menjadi inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan pada tahun 2030.
Pada forum ini, beberapa pemerintah daerah di Indonesia berkesempatan untuk berbagi pengalamannya dalam membangun daerah tangguh bencana.
Di Kota Palu, misalnya, pada tahun 2018, gempa memicu bencana besar lainnya, yaitu tsunami dan likuifaksi. Pemerintahan Kota Palu sempat lumpuh. Salah satu strategi untuk bangkit adalah menyediakan bantuan permodalan untuk membangkitkan kembali perekonomian lokal.
Selain itu, penguatan masyarakat di tingkat mikro kelembagaan pada saat terjadi bencana juga dilakukan melalui pendekatan kearifan lokal.
"Kami memiliki gerakan roa bantu roa atau roa jaga roa, artinya adalah teman bantu teman. Hal ini sangat efektif, khususnya pada saat pandemi COVID-19," ujar Wakil Walikota Palu Reny A. Lamadjido.
Sementara itu, di Provinsi Bali yang memiliki beberapa potensi bencana, pengurangan risiko bencana didasarkan pada tiga unsur tatanan kehidupannya, yaitu Tuhan, alam, dan manusia atau yang akrab disebut Tri Hita Karana. Tatanan tersebut dijadikan dasar dalam menentukan kebijakan untuk membangun ketangguhan Bali.
Dalam merespons jika terjadi bencana, para pemangku di desa adat Bali akan membunyikan Kul-Kul yang merupakan sirine tradisional.
"Sementara saat pandemi COVID-19 yang muncul pertama kali di Bali pada 10 Maret 2020, kami membentuk satuan tugas di desa adat untuk merespons secara cepat dan masif," ujar Gubernur Provinsi Bali Wayan Koster.
Sebagai destinasi wisata, Bali melakukan sertifikasi kepada hotel, restoran, rumah sakit, museum, dan destinasi wisata lainnya untuk memberikan rasa nyaman dan aman bagi wisatawan.
Pemerintah Bali juga terus melakukan pembinaan Hotel Tangguh Bencana dengan memastikan struktur bangunan yang aman, fasilitas kebencanaan yang memadai, memiliki manajemen risiko bencana, edukasi kebencanaan kepada pegawai dan pengunjung, simulasi dan gladi secara rutin, serta turut membangun resiliensi masyarakat di sekitarnya.
Dengan adanya forum ini diharapkan akan ada lebih banyak daerah yang berkomitmen memberikan dukungan politiknya untuk melakukan pembangunan yang berkelanjutan, khususnya mendukung program dalam MCR 2030.
Hal itu dikarenakan 42 persen dari 514 kabupaten/kota di Indonesia memiliki risiko bencana yang tinggi, sementara sisanya, menurut Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) tahun 2020 memiliki risiko bencana sedang.
"Oleh sebab itu, penguatan resiliensi bukanlah suatu pilihan, melainkan sebuah tanggung jawab yang sangat diperlukan," ujar Raditya dalam keterangan tertulis diterima di Nusa Dua, Bali, Selasa.
Pada pertemuan awal Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) 2022, Raditya menambahkan tidak ada solusi tunggal dalam penanggulangan bencana yang dapat digunakan untuk konteks yang sama di daerah berbeda.
Hal ini, lanjutnya, memosisikan pemerintah daerah menjadi ujung tombak untuk meningkatkan pembangunan yang tangguh dan berkelanjutan.
Dalam tatanan global, program Making Cities Resilient 2030 (MCR 2030) mendukung penguatan resiliensi suatu kota untuk memastikan kota atau kabupaten menjadi inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan pada tahun 2030.
Pada forum ini, beberapa pemerintah daerah di Indonesia berkesempatan untuk berbagi pengalamannya dalam membangun daerah tangguh bencana.
Di Kota Palu, misalnya, pada tahun 2018, gempa memicu bencana besar lainnya, yaitu tsunami dan likuifaksi. Pemerintahan Kota Palu sempat lumpuh. Salah satu strategi untuk bangkit adalah menyediakan bantuan permodalan untuk membangkitkan kembali perekonomian lokal.
Selain itu, penguatan masyarakat di tingkat mikro kelembagaan pada saat terjadi bencana juga dilakukan melalui pendekatan kearifan lokal.
"Kami memiliki gerakan roa bantu roa atau roa jaga roa, artinya adalah teman bantu teman. Hal ini sangat efektif, khususnya pada saat pandemi COVID-19," ujar Wakil Walikota Palu Reny A. Lamadjido.
Sementara itu, di Provinsi Bali yang memiliki beberapa potensi bencana, pengurangan risiko bencana didasarkan pada tiga unsur tatanan kehidupannya, yaitu Tuhan, alam, dan manusia atau yang akrab disebut Tri Hita Karana. Tatanan tersebut dijadikan dasar dalam menentukan kebijakan untuk membangun ketangguhan Bali.
Dalam merespons jika terjadi bencana, para pemangku di desa adat Bali akan membunyikan Kul-Kul yang merupakan sirine tradisional.
"Sementara saat pandemi COVID-19 yang muncul pertama kali di Bali pada 10 Maret 2020, kami membentuk satuan tugas di desa adat untuk merespons secara cepat dan masif," ujar Gubernur Provinsi Bali Wayan Koster.
Sebagai destinasi wisata, Bali melakukan sertifikasi kepada hotel, restoran, rumah sakit, museum, dan destinasi wisata lainnya untuk memberikan rasa nyaman dan aman bagi wisatawan.
Pemerintah Bali juga terus melakukan pembinaan Hotel Tangguh Bencana dengan memastikan struktur bangunan yang aman, fasilitas kebencanaan yang memadai, memiliki manajemen risiko bencana, edukasi kebencanaan kepada pegawai dan pengunjung, simulasi dan gladi secara rutin, serta turut membangun resiliensi masyarakat di sekitarnya.
Dengan adanya forum ini diharapkan akan ada lebih banyak daerah yang berkomitmen memberikan dukungan politiknya untuk melakukan pembangunan yang berkelanjutan, khususnya mendukung program dalam MCR 2030.