Jakarta (ANTARA) - Seorang korban dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berinisial MS mengaku meloncat dari kapal Run Zeng 03 berbendera Rusia di Kepulauan Aru karena mengalami eksploitasi selama bekerja.
MS mengungkapkan itu ketika hendak menjalani pemeriksaan kedua atas laporannya terkait dugaan TPPO di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis.
“Kami sudah kerja, tapi gaji tidak ada, premi tidak ada. Makanan pun tidak ada. Ketika bekerja, tidak ada makanan dan minuman. Kami minum pun dari air AC (pendingin ruangan). Jadi, ya sudah, mumpung waktu itu kondisinya sudah dekat pulau, jadi kami lompat,” ujarnya.
Ia bercerita bahwa pada awalnya, MS mendapatkan lowongan pekerjaan sebagai pembongkar jaring ikan di media sosial.
Ia dan 54 orang lainnya kemudian bekerja di KM Mitra Usaha Semesta (MUS) tanpa menandatangani perjanjian kerja laut. Namun, setelah 11 hari perjalanan di laut, para korban dipindahkan ke KM Run Zeng 3 berbendera Rusia.
Selama bekerja, para pekerja menerima berbagai perlakuan tidak manusiawi. Salah satu kuasa hukum yang mendampingi MS, Guntur, mengatakan bahwa para korban hanya diberikan satu nampan makanan untuk dimakan beramai-ramai. Selain itu, para pekerja tidak mendapatkan upah selama bekerja sejak April 2024 meski jam kerja lebih dari 12 jam.
Oleh karena itu, MS dan kelima korban lainnya memutuskan loncat dari kapal. Tindakan itu nekat mereka lakukan sebagai upaya melarikan diri dari kondisi yang tidak sesuai dengan perjanjian dan kondisi kerja yang tidak layak.
Ketika berada di laut, mereka ditemukan di sebuah pulau di Kepulauan Aru oleh kapal jaring yang tengah melintas dan langsung mendapatkan pertolongan.
Akan tetapi, hanya lima orang yang dinyatakan selamat, termasuk MS, sedangkan satu orang dinyatakan hilang dan lima hari kemudian, satu orang itu ditemukan meninggal dunia tanpa kepala.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Seorang korban TPPO meloncat dari kapal karena alami eksploitasi
MS mengungkapkan itu ketika hendak menjalani pemeriksaan kedua atas laporannya terkait dugaan TPPO di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis.
“Kami sudah kerja, tapi gaji tidak ada, premi tidak ada. Makanan pun tidak ada. Ketika bekerja, tidak ada makanan dan minuman. Kami minum pun dari air AC (pendingin ruangan). Jadi, ya sudah, mumpung waktu itu kondisinya sudah dekat pulau, jadi kami lompat,” ujarnya.
Ia bercerita bahwa pada awalnya, MS mendapatkan lowongan pekerjaan sebagai pembongkar jaring ikan di media sosial.
Ia dan 54 orang lainnya kemudian bekerja di KM Mitra Usaha Semesta (MUS) tanpa menandatangani perjanjian kerja laut. Namun, setelah 11 hari perjalanan di laut, para korban dipindahkan ke KM Run Zeng 3 berbendera Rusia.
Selama bekerja, para pekerja menerima berbagai perlakuan tidak manusiawi. Salah satu kuasa hukum yang mendampingi MS, Guntur, mengatakan bahwa para korban hanya diberikan satu nampan makanan untuk dimakan beramai-ramai. Selain itu, para pekerja tidak mendapatkan upah selama bekerja sejak April 2024 meski jam kerja lebih dari 12 jam.
Oleh karena itu, MS dan kelima korban lainnya memutuskan loncat dari kapal. Tindakan itu nekat mereka lakukan sebagai upaya melarikan diri dari kondisi yang tidak sesuai dengan perjanjian dan kondisi kerja yang tidak layak.
Ketika berada di laut, mereka ditemukan di sebuah pulau di Kepulauan Aru oleh kapal jaring yang tengah melintas dan langsung mendapatkan pertolongan.
Akan tetapi, hanya lima orang yang dinyatakan selamat, termasuk MS, sedangkan satu orang dinyatakan hilang dan lima hari kemudian, satu orang itu ditemukan meninggal dunia tanpa kepala.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Seorang korban TPPO meloncat dari kapal karena alami eksploitasi