Sleman (ANTARA) - Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan Daerah Istimewa Yogyakarta mencatat realisasi belanja APBN untuk menurunkan prevalensi stunting di DIY telah mencapai 80,13 persen dari Rp20,64 miliar atau terserap Rp16,53 miliar hingga akhir September 2024.
Kepala Kanwil DJPb DIY Agung Yulianta di Sleman, DIY, Selasa, mengatakan beberapa output dari realisasi anggaran tersebut yakni sambungan air minum sebanyak 3.840 unit sambungan RT, penyelenggaraan desa pangan aman sebanyak 36 lembaga, dan penetapan kawasan padi kaya gizi seluas 250 hektare.
"Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah terus berupaya meningkatkan belanja negara yang efektif dan efisien dalam upaya menurunkan prevalensi stunting di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)," kata Agung Yulianta.
Ia juga mengatakan dana desa juga mendukung penurunan prevalensi stunting dengan realisasi Rp26,51 miliar dari pagu Rp83,97 miliar. Rincian per wilayahnya yaitu Kabupaten Sleman sebesar Rp4,04 miliar dari pagu Rp17,73 miliar, Kabupaten Gunung Kidul realisasi sebesar Rp12,14 miliar pagu Rp30,71 miliar, Kabupaten Bantul realisasi Rp4,99 miliar dari pagu Rp15,74 miliar, dan Kabupaten Kulon Progo realisasi Rp5,34 miliar dari pagu Rp19,8 miliar.
"Serapan ini perlu dievaluasi di mana permasalahannya," katanya.
Tak hanya lewat dana desa, lanjut Agung, penanganan stunting juga bersumber dari dana transfer ke daerah (TKD) juga memberikan dukungan penurunan angka prevalensi stunting di DIY lewat Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik dan non-fisik.
Pada DAK fisik, realisasi belanja penurunan prevalensi stunting mencapai Rp5,41 miliar dari pagu Rp7,01 miliar atau sudah terealisasi 77,24 persen. Sejumlah program yang sudah dilaksanakan melalui anggaran DAK Fisik tersebut, yakni penguatan penurunan angka kematian ibu, bayi, dan intervensi stunting; keluarga berencana serta air minum dan sanitasi (tematik pengentasan permukiman kumuh terpadu).
Selanjutnya, ada realisasi DAK non-fisik untuk penurunan prevalensi stunting dengan realisasi Rp239,06 miliar dari pagu Rp279,98 miliar atau terealisasi sebesar 85,39 persen. Kinerja DAK non-fisik untuk penurunan prevalensi stunting yang telah terealisasi di DIY antara lain berupa dana bantuan operasional kesehatan, dana bantuan operasional keluarga berencana, dana bantuan operasional penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, dan dana bantuan operasional penyelenggaraan pendidikan kesetaraan.
"Seluruh anggaran tersebut sudah dialokasikan untuk berbagai kegiatan, baik yang langsung maupun tidak langsung bersinggungan dengan upaya penurunan angka prevalensi stunting," katanya.
Meski demikian, Agung menyebut program-program yang dimaksud memiliki dampak signifikan terhadap masalah utama.
"Kami juga menaruh perhatian pada manajemen tata kelola penurunan angka prevalensi stunting untuk bisa menentukan siapa yang bisa mengorkestrasi ini semua supaya output-nya jelas dan outcome optimal. Karena kalau berjalan sendiri-sendiri, nanti kita khawatir jangan-jangan ada satuan kerja yang tidak menyadari adanya alokasi untuk penurunan angka prevalensi stunting," kata Agung.
Kepala Kanwil DJPb DIY Agung Yulianta di Sleman, DIY, Selasa, mengatakan beberapa output dari realisasi anggaran tersebut yakni sambungan air minum sebanyak 3.840 unit sambungan RT, penyelenggaraan desa pangan aman sebanyak 36 lembaga, dan penetapan kawasan padi kaya gizi seluas 250 hektare.
"Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah terus berupaya meningkatkan belanja negara yang efektif dan efisien dalam upaya menurunkan prevalensi stunting di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)," kata Agung Yulianta.
Ia juga mengatakan dana desa juga mendukung penurunan prevalensi stunting dengan realisasi Rp26,51 miliar dari pagu Rp83,97 miliar. Rincian per wilayahnya yaitu Kabupaten Sleman sebesar Rp4,04 miliar dari pagu Rp17,73 miliar, Kabupaten Gunung Kidul realisasi sebesar Rp12,14 miliar pagu Rp30,71 miliar, Kabupaten Bantul realisasi Rp4,99 miliar dari pagu Rp15,74 miliar, dan Kabupaten Kulon Progo realisasi Rp5,34 miliar dari pagu Rp19,8 miliar.
"Serapan ini perlu dievaluasi di mana permasalahannya," katanya.
Tak hanya lewat dana desa, lanjut Agung, penanganan stunting juga bersumber dari dana transfer ke daerah (TKD) juga memberikan dukungan penurunan angka prevalensi stunting di DIY lewat Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik dan non-fisik.
Pada DAK fisik, realisasi belanja penurunan prevalensi stunting mencapai Rp5,41 miliar dari pagu Rp7,01 miliar atau sudah terealisasi 77,24 persen. Sejumlah program yang sudah dilaksanakan melalui anggaran DAK Fisik tersebut, yakni penguatan penurunan angka kematian ibu, bayi, dan intervensi stunting; keluarga berencana serta air minum dan sanitasi (tematik pengentasan permukiman kumuh terpadu).
Selanjutnya, ada realisasi DAK non-fisik untuk penurunan prevalensi stunting dengan realisasi Rp239,06 miliar dari pagu Rp279,98 miliar atau terealisasi sebesar 85,39 persen. Kinerja DAK non-fisik untuk penurunan prevalensi stunting yang telah terealisasi di DIY antara lain berupa dana bantuan operasional kesehatan, dana bantuan operasional keluarga berencana, dana bantuan operasional penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, dan dana bantuan operasional penyelenggaraan pendidikan kesetaraan.
"Seluruh anggaran tersebut sudah dialokasikan untuk berbagai kegiatan, baik yang langsung maupun tidak langsung bersinggungan dengan upaya penurunan angka prevalensi stunting," katanya.
Meski demikian, Agung menyebut program-program yang dimaksud memiliki dampak signifikan terhadap masalah utama.
"Kami juga menaruh perhatian pada manajemen tata kelola penurunan angka prevalensi stunting untuk bisa menentukan siapa yang bisa mengorkestrasi ini semua supaya output-nya jelas dan outcome optimal. Karena kalau berjalan sendiri-sendiri, nanti kita khawatir jangan-jangan ada satuan kerja yang tidak menyadari adanya alokasi untuk penurunan angka prevalensi stunting," kata Agung.