Yogyakarta (ANTARA) - Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta menuntut mantan Direktur Utama (Dirut) PT Taru Martani Nur Achmad Affandi 13 tahun penjara atas dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan operasional BUMD itu senilai Rp18,7 miliar.
Tuntutan tersebut disampaikan Tim JPU yang dipimpin Nila Maharani dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Yogyakarta, Selasa.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Nur Achmad Affandi dengan pidana penjara selama 13 tahun dikurangi selama terdakwa ditahan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan," ucap jaksa.
Dalam tuntutannya, JPU menyebut terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan primair.
Jaksa menyatakan perbuatan Nur Achmad telah melanggar Pasal 2 ayat (1) "juncto" Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Selain penjara, JPU menuntut Nur Achmad membayar denda Rp500 juta, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan.
Tak hanya itu, JPU turut menuntut terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp18,4 miliar lebih. Apabila dalam waktu 1 bulan sejak putusan terdakwa tidak membayar, maka harta bendanya disita.
"Apabila harta benda yang disita tidak cukup untuk membayar uang pengganti maka terdakwa menjalani pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti selama enam tahun," kata JPU.
Kasi Penerangan Hukum Kejati DIY Herwatan menjelaskan dalam kasus itu, Nur Achmad saat menjabat Direktur PT Taru Martani telah melakukan investasi melalui perdagangan berjangka komoditi berupa kontrak berjangka emas (emas derivatif) dengan PT Midtou Aryacom Futures selaku perusahaan pialang, yang sumber dananya berasal dari PT Taru Martani tanpa melalui persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Kasus itu disebutkan terjadi pada kurun tahun 2022 hingga Mei 2023.
Menurut Herwatan, mulanya terdakwa melakukan pembukaan rekening pada PT Midtou Aryacom Futures Yogyakarta dengan deposit awal sebesar 10 ribu dolar AS yang berasal dari dana pribadi terdakwa.
Untuk memenuhi target, terdakwa kemudian melakukan pembukaan rekening lagi dengan deposit awal sebesar Rp10 miliar yang sumber dananya berasal dari uang kas PT Taru Martani. "Namun, akun tetap atas nama pribadi terdakwa," ujar Herwatan.
Selaku direktur perusahaan cerutu tersebut, Nur kemudian memerintahkan Kepala Divisi Keuangan PT Taru Martani untuk mentransfer dana dari rekening PT Taru Martani ke rekening PT Midtou Aryacom Futures dalam rangka kerja sama investasi, secara bertahap hingga jumlah total Rp8,7 miliar.
Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan PT Taru Martani Tahun Buku 2022 yang ditetapkan dalam RUPS dan dituangkan dalam Berita Acara RUPS PT Taru Martani, tidak terdapat rencana investasi trading.
Perbuatan terdakwa telah merugikan keuangan negara mencapai Rp18,7 miliar.
Tuntutan tersebut disampaikan Tim JPU yang dipimpin Nila Maharani dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Yogyakarta, Selasa.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Nur Achmad Affandi dengan pidana penjara selama 13 tahun dikurangi selama terdakwa ditahan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan," ucap jaksa.
Dalam tuntutannya, JPU menyebut terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan primair.
Jaksa menyatakan perbuatan Nur Achmad telah melanggar Pasal 2 ayat (1) "juncto" Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Selain penjara, JPU menuntut Nur Achmad membayar denda Rp500 juta, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan.
Tak hanya itu, JPU turut menuntut terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp18,4 miliar lebih. Apabila dalam waktu 1 bulan sejak putusan terdakwa tidak membayar, maka harta bendanya disita.
"Apabila harta benda yang disita tidak cukup untuk membayar uang pengganti maka terdakwa menjalani pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti selama enam tahun," kata JPU.
Kasi Penerangan Hukum Kejati DIY Herwatan menjelaskan dalam kasus itu, Nur Achmad saat menjabat Direktur PT Taru Martani telah melakukan investasi melalui perdagangan berjangka komoditi berupa kontrak berjangka emas (emas derivatif) dengan PT Midtou Aryacom Futures selaku perusahaan pialang, yang sumber dananya berasal dari PT Taru Martani tanpa melalui persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Kasus itu disebutkan terjadi pada kurun tahun 2022 hingga Mei 2023.
Menurut Herwatan, mulanya terdakwa melakukan pembukaan rekening pada PT Midtou Aryacom Futures Yogyakarta dengan deposit awal sebesar 10 ribu dolar AS yang berasal dari dana pribadi terdakwa.
Untuk memenuhi target, terdakwa kemudian melakukan pembukaan rekening lagi dengan deposit awal sebesar Rp10 miliar yang sumber dananya berasal dari uang kas PT Taru Martani. "Namun, akun tetap atas nama pribadi terdakwa," ujar Herwatan.
Selaku direktur perusahaan cerutu tersebut, Nur kemudian memerintahkan Kepala Divisi Keuangan PT Taru Martani untuk mentransfer dana dari rekening PT Taru Martani ke rekening PT Midtou Aryacom Futures dalam rangka kerja sama investasi, secara bertahap hingga jumlah total Rp8,7 miliar.
Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan PT Taru Martani Tahun Buku 2022 yang ditetapkan dalam RUPS dan dituangkan dalam Berita Acara RUPS PT Taru Martani, tidak terdapat rencana investasi trading.
Perbuatan terdakwa telah merugikan keuangan negara mencapai Rp18,7 miliar.