Jakarta (ANTARA) - Radioterapi telah berkembang menjadi salah satu metode penanganan kanker yang efektif dan presisi, tidak hanya untuk kanker serviks, tetapi juga kanker ginekologi lainnya, dengan tingkat keamanan dan kenyamanan pasien yang terus meningkat.

Radioterapi merupakan salah satu dari tiga pilar utama terapi kanker, selain pembedahan dan terapi sistemik.

“Sekitar 50–60 persen pasien kanker membutuhkan radioterapi sebagai bagian dari rangkaian pengobatannya. Seiring meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap skrining kanker serviks, semakin banyak pasien yang terdeteksi pada stadium yang masih dapat ditangani secara optimal dengan radioterapi, khususnya pada stadium II dan III,” ujar dr. Fauzan Herdian, Sp.Onk.Rad, Dokter Spesialis Onkologi Radiasi di Primaya Hospital Bekasi Barat, melalui rilis pers yang diterima di Jakarta, Rabu.

Dalam penanganan kanker, radioterapi dilakukan melalui dua pendekatan utama, yaitu radioterapi eksternal dan brakiterapi.

Radioterapi eksternal merupakan metode yang paling umum, menggunakan sinar pengion berenergi tinggi yang diarahkan secara presisi ke area tumor melalui mesin khusus, dengan durasi sekitar 10–30 menit per sesi tanpa menimbulkan rasa sakit.

Sementara itu, brakiterapi dilakukan dengan menempatkan aplikator langsung ke area tumor dan menjadi bagian penting, bahkan wajib bila tidak ada kontraindikasi, dalam terapi kanker serviks untuk melengkapi dosis radiasi secara optimal.

Efek samping radioterapi umumnya bersifat lokal dan sementara, seperti iritasi kulit, gangguan pencernaan, atau keluhan berkemih.

Perkembangan teknologi radioterapi dalam beberapa tahun terakhir menghadirkan teknik presisi tinggi seperti 3D Conformal Radiotherapy (3DCRT) dan Intensity-Modulated Radiation Therapy (IMRT), termasuk teknik lanjutan VMAT dan IGRT.

Teknologi ini memungkinkan pengaturan dosis radiasi yang lebih akurat, sehingga efektif menargetkan tumor sekaligus meminimalkan paparan ke jaringan sehat.

“Dengan teknik modern seperti IMRT dan VMAT, radioterapi kini semakin aman dan nyaman. Tingkat keberhasilan terapi meningkat, sementara efek samping dapat lebih terkontrol, termasuk pada kanker serviks pascaoperasi atau yang telah menyebar ke kelenjar getah bening,” tambah dr. Fauzan.

Pada kanker serviks, radioterapi berperan penting di berbagai stadium, mulai dari terapi tambahan pasca operasi, terapi utama pada stadium lokal lanjut, hingga pengendalian gejala pada stadium lanjut.

Layanan radioterapi komprehensif dengan teknologi modern ini telah tersedia di Primaya Hospital Tangerang dan Primaya Hospital Bekasi Barat.

Fauzan menyebut deteksi dini masih menjadi kunci dalam penyakit kanker karena memberikan peluang kesembuhan yang sangat tinggi, bahkan mendekati 100 persen bila ditemukan pada tahap pra-kanker atau stadium awal. Terapi menjadi lebih singkat, efek samping lebih ringan, dan biaya pengobatan jauh lebih rendah.

Skrining kanker serviks dianjurkan dilakukan secara berkala melalui Pap smear setiap 3–5 tahun setelah menikah, atau tes IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat) sebagai skrining awal, terutama di wilayah dengan keterbatasan akses layanan.

“Radioterapi bukan lagi terapi yang menakutkan. Dengan teknologi modern dan deteksi dini, radioterapi bahkan menjadi solusi yang memberi harapan besar bagi pasien kanker untuk sembuh dan kembali menjalani hidup secara produktif,” kata Fauzan.

Di tengah masih tingginya angka kanker serviks di Indonesia yang menempati peringkat kedua kanker terbanyak pada perempuan dengan sekitar 36.000 kasus baru setiap tahunnya, perkembangan teknologi radioterapi menghadirkan harapan baru bagi pasien. 



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kenali radioterapi, metode atasi kanker serviks efektif dan presisi


Pewarta : Pamela Sakina
Editor : Victorianus Sat Pranyoto
Copyright © ANTARA 2025