Cheng Ho dan alat tawar wisatawan China

id cheng Ho,wisata sejarah

Cheng Ho dan alat tawar wisatawan China

Ilustrasi kunjungan Presiden Joko Widodo ke Tiongkok (Foto ANTARA)

SPEKTRUM  Oleh : M. Irfan Ilmie
"Iya, (dalam sejarah) dia dikenal sebagai pelaut," ujar Lu Yao Xing, seorang sopir, dalam percakapan dengan Antara di Shanghai, beberapa waktu lalu.
 
Lu mengaku tidak banyak mengetahui tentang sejarah terkait sosok Cheng Ho, kecuali hanya dikenal sebagai seorang pelaut pada zaman dahulu kala.

"Nama dia ada di buku sejarah," katanya mengenai Zheng He atau Cheng Ho menurut lidah orang Indonesia.

Lu tidak sendiri. Banyak warga China yang tidak mengetahui persis seorang kasim Muslim yang menjadi kepercayaan Kaisar Yongle, kaisar ketiga Dinasti Ming, yang berkuasa pada 1403-1424 itu.

Jangankan mengenai perjalanan Cheng Ho, sebagian besar masyarakat China juga tidak mengerti bahwa tokoh muslim Tiongkok yang diperkirakan hidup pada 1371-1433 itu pernah berlayar hingga Nusantara.

Apalagi bila dikaitkan dengan beberapa masjid di Jawa dan Sumatera yang mengadopsi nama Cheng Ho, pemahaman mereka belum sampai ke situ.

"Saya tahu nama itu dari pelajaran sejarah di sekolah dasar," kata Jing Ruixue, warga Liupanshui, Provinsi Guizhou.

Sama seperti Lu, selebihnya pegawai negeri sipil di Distrik Panzhou, Liupanshui, itu juga tidak mengenali sosok Cheng Ho.

Dalam salah satu catatan biografi, Cheng Ho bernama asli Ma He atau dikenal juga sebagai Ma Sanbao yang berasal dari Provinsi Yunnan, satu wilayah di barat daya daratan Tiongkok yang berbatasan dengan Provinsi Guizhou di timur laut, Daerah Otonomi Guangxi (timur), Provinsi Sichuan (barat laut), Daerah Otonomi Xizang (barat), dan India, Myanmar, serta Vietnam (barat, selatan, dan timur).

Ketika pasukan Ming menaklukkan Yunnan, Cheng Ho ditangkap dan kemudian dijadikan orang kebiri.

Ditinjau dari marganya "Ma", Cheng Ho seorang bersuku Hui, suku bangsa yang secara fisik mirip dengan suku mayoritas Han, namun beragama Islam.

Cheng Ho melakukan ekspedisi paling sedikit tujuh kali dengan menggunakan kapal armadanya.

Dari tujuh kali ekspedisi itu, enam di antaranya Cheng Ho menyinggahi Jawa dan Sumatera, yakni pada periode 1405-1407, 1407-1408, 1409-1411, 1413-1415, 1416-1419, dan 1430-1433.

Pada tahun 1415, Cheng Ho berlabuh di Muara Jati, Cirebon), Jawa Barat. Saat itu dia menghadiahi beberapa cendera mata khas Tiongkok kepada Sultan Cirebon.

Salah satu peninggalannya, sebuah piring yang bertuliskan Ayat Kursi masih tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon.

Pernah dalam perjalanannya melalui Laut Jawa, Wang Jinghong (orang kedua dalam armada Cheng Ho) sakit keras.

Wang akhirnya turun di pantai Simongan, Semarang, Jawa Tengah, dan menetap di sana. Salah satu bukti peninggalannya antara lain Kelenteng Sam Po Kong (Gedung Batu) dan patung yang disebut Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong.

Cheng Ho juga sempat berkunjung ke Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan raja Wikramawardhana.

Namun pada tahun 1424, kaisar Yongle wafat. Penggantinya, Kaisar Hongxi yang berkuasa pada 1424-1425 memutuskan untuk mengurangi pengaruh kasim di lingkungan kerajaan.

Cheng Ho melakukan satu ekspedisi lagi pada masa kekuasaan Kaisar Xuande (berkuasa 1426-1435).

Setelah periode tersebut, dia sudah tidak lagi melakukan pelayaran atas kebijakan penguasa pada saat itu karena anggaran yang terbatas.

Namun, ekspedisi Cheng Ho itu telah menginspirasi pemerintah China dalam menginisiasi "Belt and Road" sebagai gambaran dari peta blok Jalur Sutera dan Jalur Maritim Abad ke-21.

China yang terhubung dengan negara-negara di Asia Tenggara dan Asia Selatan masuk dalam kawasan "Road" yang digagas Presiden Xi Jinping dan disampaikan di depan anggota DPR-RI di Senayan, Jakarta, pada Juni 2013.

Sebelumnya Xi juga mengumumkan "Belt" yang menghubungkan China dengan negara-negara di Eropa dan Afrika di Astana, Kazakhstan.
           
          Lebih Edukatif
Ekspedisi Cheng Ho tersebut akan lebih elok dikemas dalam perspekstif lain sehingga lebih bernilai edukatif, terutama bagi generasi muda Tiongkok agar tidak semakin buta sejarah.

Kementerian Pariwisata RI mencoba mengambil inisiatif tersebut seiring dengan makin lebarnya ceruk pasar wisatawan China.

Hal itu juga bagian dari ikhtiar untuk mendatangkan sebanyak mungkin wisatawan China ke Indonesia yang masih belum pulih 100 persen dari trauma dampak letusan Gunung Agung di Kabupaten Karangasem, Bali.

Sebagai tuan rumah Asian Games XVIII/2018, terbuka peluang bagi Indonesia untuk memasarkan wisata sejarah ekspedisi Cheng Ho tersebut.

Asian Games yang digelar di Palembang, Sumatera Selatan, dan Jakarta, memberikan manfaat tersendiri bagi warga China yang ingin mendukung atlet idolanya berlaga di pesta olahraga terbesar kedua setelah Olimpiade musim panas sekaligus berwisata.

Apalagi Cheng Ho memiliki jejak sejarah di Palembang. Pada awal abad ke-15, Kota Palembang diduduki perompak Chen Zuyi yang berasal dari Tiongkok.

Armada bajak laut Chen Zuyi kemudian ditumpas oleh Laksamana Cheng Ho pada tahun 1407.

Laksamana Cheng Ho juga dianggap berperan dalam penyebaran Islam di Palembang. Armada Cheng Ho sebanyak 62 unit kapal dan tentara yang berjumlah 27.800 orang pernah empat kali berlabuh di Palembang.

Oleh karena masyarakat setempat mengadopsi nama Cheng Ho pada salah satu masjid di Jakabaring yang juga dikenal sebagai pusat olahraga sekaligus tempat penyelenggaraan Asian Games tahun ini.

Masjid dua lantai yang mampu menampung sekitar 600 orang itu didesain dengan memadukan arsitektur bergaya China dan budaya lokal masyarakat Palembang.

Menara di kedua sisi masjid yang dibangun pada 2008 tersebut meniru bangunan klenteng-klenteng di China dengan dominasi warna merah dan hijau giok.

Di Palembang juga terdapat tempat-tempat lain yang tidak bisa dipisahkan dari adat dan tradisi masyarakat Tiongkok, seperti Kampung Kapitan yang langsung menghadap Sungai Musi dengan latar belakang Jembatan Ampera dan Benteng Kuto Besak.

Selain Palembang, Jakarta dan Semarang juga patut menjadi "alat tawar" bagi Kemenpar untuk mengundang wisatawan dari daratan Tiongkok.

Di kawasan Ancol, Jakarta Utara, ada makam Wu Ping, juru masak Cheng Ho, dan istrinya Siti Wati, yang merupakan penduduk lokal.

Kemudian di Semarang juga ada kelenteng Sam Po Kong yang merupakan petilasan persinggahan pertama Cheng Ho. Belum lagi Masjid Cheng Ho di Kabupaten Pasuruan dan Kota Surabaya. Tempat-tempat tersebut tidak kalah bernilainya bagi masyarakat China yang sebagian besar menggemari wisata sejarah dengan mengunjungi museum atau situs-situs tertentu.

"Indonesia tidak hanya Bali. Masih banyak tempat lain yang perlu dikunjungi, terutama yang berkaitan dengan sejarah ekspedisi Cheng Ho," kata Menpar Arief Yahya saat bertemu dengan para agen perjalanan wisata China di Beijing pada 23 Januari 2018. 
(T.M038) 06-02-2018 06:11:41
Pewarta :
Editor: Agus Priyanto
COPYRIGHT © ANTARA 2024