Jakarta (ANTARA) - Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyebut upaya repatriasi ribuan warga Rohingya dari kamp-kamp pengungsian di Bangladesh ke Rakhine State, Myanmar, harus terus diprioritaskan oleh ASEAN.
Terlebih, rencana repatriasi hingga kini belum dapat terlaksana mengingat situasi keamanan dan pandemi COVID-19.
“Oleh karena itu, upaya untuk mempersiapkan repatriasi harus terus dilakukan dengan menghormati prinsip sukarela, aman, dan bermartabat,” kata Retno usai menghadiri pertemuan informal para menlu ASEAN (ASEAN Ministerial Meeting/AMM) secara virtual dari Jakarta, Rabu.
Akhir tahun lalu, para pemimpin ASEAN telah sepakat untuk membentuk satuan tugas ad hoc guna membantu repatriasi pengungsi Rohingya dari Bangladesh ke Myanmar.
Satgas tersebut akan bekerja di bawah Sekretariat ASEAN untuk mengawasi pelaksanaan rekomendasi penilaian kebutuhan awal (preliminary needs assessment/PNA) berdasarkan laporan tim Pusat Koordinasi ASEAN untuk Bantuan Kemanusiaan (AHA Centre) bersama Tim Tanggap Darurat dan Penilaian ASEAN (ERAT).
Berdasarkan rekomendasi satgas ad hoc yang telah bekerja sejak Februari lalu, Sekretaris Jenderal ASEAN menyampaikan perlunya dilaksanakan dua proyek pembangunan di Rakhine State yang diharapkan dapat mendukung penghidupan masyarakat di negara bagian Myanmar itu.
“Sekjen memandang perlu untuk melakukan proyek ekskavasi dan renovasi serta masa percobaan guna menstimulasi industri pertanian,” kata Retno.
Lebih lanjut, Retno menjelaskan bahwa dukungan untuk dua proyek tersebut sedang dibahas termasuk dengan negara-negara mitra ASEAN.
Sejak meletus konflik antara militer dan warga sipil di Rakhine State pada 2017, ratusan ribu warga etnis Rohingya telah menyelamatkan diri ke Bangladesh dan kini tinggal di kamp-kamp pengungsian di Cox’s Bazar.
Negosiasi antara Myanmar dan Bangladesh untuk merepatriasi pengungsi Rohingya berlangsung alot, sementara warga Rohingya menolak kembali ke Rakhine karena khawatir akan persekusi dan status kewarganegaraan mereka yang tidak diakui menurut undang-undang Myanmar.
Alih-alih direpatriasi, banyak pengungsi Rohingya justru menjadi korban penggelapan dan perdagangan manusia saat berupaya mencari penghidupan yang lebih baik ke negara-negara lain, melalui jalur laut.
Terkait fenomena yang disebut manusia perahu (boat people) ini, Menlu Retno menegaskan bahwa perlu dilakukan langkah-langkah preventif guna mencegah warga Rohingya melakukan perjalanan laut yang berbahaya.
“Perlu diambil langkah-langkah preventif agar mereka tidak menjadi korban perdagangan manusia,” tutur dia, tanpa menjelaskan lebih jauh langkah apa yang dimaksud.