Yogyakarta (ANTARA) - Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi Yogyakarta menyebut aktivitas seismik dan deformasi di tubuh Gunung Merapi terus mengalami peningkatan sejak status gunung api aktif tersebut dinaikkan menjadi Siaga pada 5 November.
“Aktivitas seismik yang terpantau saat ini sudah melampaui aktivitas menjelang munculnya kubah lava pada erupsi 2006, tetapi masih lebih rendah dibanding aktivitas seismik saat erupsi 2010,” kata Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta Hanik Humaida di Yogyakarta, Rabu.
Sedangkan untuk deformasi atau penggembungan tubuh gunung terjadi sekitar 12 centimeter per hari. Penggembungan tersebut mulai terdeteksi pada 20 Oktober yang terpantau di sektor barat laut.
Berdasarkan catatan BPPTKG Yogyakarta, dalam tiga hari menjelang munculnya kubah lava pada erupsi 2006, tercatat tidak ada gempa vulkanik dalam, namun gempa vulnaik dangkal terjadi sebanyak enam kali dengan 20 kali guguran.
Sedangkan menjelang erupsi pertama pada 2010, terjadi 120 kali gempa vulkanik dangkal, tujuh gempa vulkanik dalam, dan 277 kali guguran.
Sementara untuk kondisi saat ini, lanjut Hanik, tidak ada gempa vulkanik dalam, namun terjadi 33 kali gempa vulkanik dangkal dengan 45 kali guguran.
BPPTKG pun menyusun dua skenario erupsi karena indikator yang ditunjukkan saat ini sudah melampaui kondisi siaga pada 2006, yaitu skenario terjadi ekstrusi magma dengan cepat dan skenario erupsi eksplosif.
Menurut Hanik, dengan aktivitas seismik yang sudah melampaui kondisi yang terukur saat erupsi 2006, maka jenis erupsi yang dimungkinkan terjadi akan bersifat eksplosif.
Namun demikian, lanjut dia, jika terjadi erupsi eksplosif maka tidak akan sebesar erupsi 2010, karena tidak terjadi tekanan berlebihan di dapur magma, migrasi magma berjalan pelan, peningkatan kegempaan dan erupsi menyerupai erupsi pada 2006 yang bersifat efusif, dan banyak terjadi hembusan yang menandakan pelepasan gas.
Berdasarkan pusat terjadinya kegempaan, maka saat ini magma berada dengan jarak sekitar 1,5 kilometer dari puncak. Pergerakan magma tersebut juga menjadi faktor penyebab terjadinya guguran material sisa letusan yang berada di puncak gunung.
Hingga saat ini, guguran lebih banyak terjadi di sisi barat dan barat laut. “Namun bukan berarti letusan akan mengarah ke sana. Pada 2006 saja, terjadi perubahan morfologi di sisi barat tetapi awan panas meluncur ke selatan,” katanya yang menyebut hingga saat ini belum muncul kubah lava baru.