Akademisi UGM menekankan identifikasi molekuler untuk konservasi satwa

id UGM,konservasi satwa,Hewan,Kebun Binatang,Satwa,Satwa Langka,Molekuler,Yogyakarra,Ahli,Pakar,Kalimantan,Sulawesi,Sumater

Akademisi UGM menekankan identifikasi molekuler untuk konservasi satwa

Seekor Tarsius Bitung (arsius spectrum) bertengger di pohon di Taman Marga Satwa Tandurusa Bitung, Sulawesi Utara, Sabtu (26/3). Tarsius merupakan jenis satwa yang dilindungi dan bahkan dalam catatan PBB satwa genus tarsius ini masuk dalam 25 satwa di dunia yang paling terancam punah. ANTARA FOTO/Yusran Uccang/aww/16.

Yogyakarta (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Rini Widayanti menekankan pentingnya identifikasi satwa secara molekuler untuk mendukung upaya konservasi satwa liar di Tanah Air.

Rini Widayanti dalam keterangan resminya di Yogyakarta Rabu mengatakan, identifikasi satwa secara molekuler sangat penting dalam konteks konservasi karena beberapa spesies sulit atau bahkan tidak dapat dibedakan secara morfologi dengan spesies lain yang serupa.

"Identifikasi satwa dengan metode molekuler merupakan alat penting dalam upaya melindungi keanekaragaman hayati dan mengelola populasi satwa liar secara berkelanjutan," katanya.

Rini mengakui upaya konservasi perlu terus digaungkan karena keanekaragaman hayati Indonesia menghadapi ancaman serius seperti deforestasi, perubahan iklim, dan perburuan ilegal.

Sebagai negara megabiodiversitas, kata dia, Indonesia memiliki dua kawasan penting keanekaragaman hayati yang terancam, yaitu Sunda Barat dan Wallacea, serta Kawasan hutan hujan tropis di Melanesia termasuk Papua.

Dalam penelitiannya, ia mengidentifikasi beberapa satwa dan kekerabatannya berdasar analisis sekuen DNA mitokondria, seperti hewan Tarsius, Kuskus, dan Catfish asli Indonesia.

Tarsius yang merupakan satu dari 24 primata endemik, menurutnya, rentan terhadap perubahan habitat dan aktivitas manusia, sehingga penting untuk dilindungi dan dilestarikan.

Dalam penelitiannya, ia juga mengambil sampel Tarsius dari beberapa wilayah yakni Sulawesi utara, Sulawesi Tengah, Lampung, dan Kalimantan.

Menurut dia, hasil dari analisis fragmen DNA mitokondria dapat digunakan untuk mengidentifikasi Tarsius asal Sulawesi Utara (Tarsius spectrum), Sulawesi Tengah (Tarsius dianae), Lampung (Tarsius bancanus), dan Kalimantan (Tarsius bancanus borneoensis).

"Mereka menghadapi ancaman dari perdagangan ilegal dan pemeliharaan ilegal sebagai hewan peliharaan, yang harus diatasi melalui upaya konservasi yang tepat. Dengan demikian, perlindungan Tarsius dan habitatnya sangat penting untuk menjaga kelangsungan hidup spesies ini di Indonesia," kata Rini.

Rini menyimpulkan bahwa identifikasi satwa secara molekuler berdasar sekuen gen-gen DNA mitokondria memiliki berbagai keuntungan yang sangat berarti karena kemampuannya mengidentifikasi spesies dengan tingkat akurasi tinggi, membantu dalam penemuan spesies baru, mengungkap perdagangan produk pangan hewan ilegal, serta mengukur tingkat keanekaragaman genetik dalam populasi satwa liar.

Selain itu, metode ini juga mendukung pelacakan pergerakan populasi, memungkinkan penyusunan kebijakan konservasi berdasarkan bukti yang kuat, serta fokus pada perlindungan habitat dan penegakan hukum terhadap perdagangan ilegal.

Tidak kalah pentingnya, Rini menuturkan identifikasi molekuler pada satwa dapat digunakan untuk mendeteksi penyakit atau patogen yang dapat mengancam populasi satwa liar.

"Dengan mendeteksi infeksi atau penyakit sejak dini, kita dapat mengambil tindakan preventif dan pengobatan yang sesuai untuk melindungi populasi tersebut," katanya.

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Akademisi UGM tekankan identifikasi molekuler untuk konservasi satwa