Yogyakarta (ANTARA) - Di balik keindahan arsitektur yang memikat, Taman Sari Yogyakarta menyimpan kisah kompleks tentang kejayaan, kemunduran, dan transformasi sebuah istana air yang pernah menjadi simbol kekuasaan Sultan Hamengkubuwono I hingga III.
Daya tarik historis ini tercermin dalam antusiasme wisatawan dari berbagai daerah dan negara yang datang untuk berkunjung.
Suranto, pemandu wisatawan yang juga mantan pegawai Dinas Purbakala, mengungkapkan bahwa kompleks ini sebenarnya adalah benteng pertahanan yang disamarkan sebagai vila untuk melindungi Kraton Yogyakarta.
"Diibaratkan sebagai prajurit keraton, makanya di kanan kirinya ada barak tentara Mataram di Gedung Kiwo dan Gedung Tengen," jelasnya.
Fakta menarik lainnya terungkap mengenai arsitek pembangunan Taman Sari. Ternyata, perancangan kompleks ini dilakukan oleh seorang arsitek Portugis yang terdampar di Pantai Parangkusumo.
"Dulu, orang Portugis terdampar di Pantai Parangkusumo, kemudian diserahkan kepada Sultan. Tidak diusir dari Jogja, tetapi dimanfaatkan keahliannya sebagai arsitek," ujar Suranto.
Ana, seorang wisatawan asal Padang, Sumatera Barat, mengungkapkan kekagumannya terhadap situs bersejarah ini setelah melihat rekomendasi di media sosial.
"Alasan saya tertarik ke Taman Sari pertama karena direkomendasikan di Instagram dan media sosial. Selain itu, ini adalah tempat mandinya Sultan Hamengkubuwono dulu," ungkap Ana saat berkunjung pada pekan terakhir Agustus 2025.
Ana mengaku terpesona dengan kondisi bangunan yang masih utuh meski telah berusia puluhan tahun.
"Bangunannya masih utuh seperti dahulu. Mungkin hanya direvitalisasi sedikit untuk kebersihan, tapi bentuknya masih sama, tidak diubah secara sengaja. Nilai sejarah dan arsitekturnya yang masih dijaga menjadi salah satu daya tarik saya," ujarnya.
Kekaguman Ana terhadap keutuhan bangunan Taman Sari ternyata memiliki alasan historis yang mendalam. Taman Sari dibangun pada masa Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1758 dan digunakan hingga 1812, namun fungsinya tidak hanya sebagai tempat rekreasi bagi raja-raja terdahulu.
Sebagai wisatawan dari luar Jawa, Ana mengaku mendapatkan pengalaman berharga saat mengunjungi Taman Sari. Ia bahkan memanfaatkan jasa pemandu wisata lokal untuk memahami fungsi setiap ruangan dan bangunan serta cerita di balik setiap peristiwa yang terjadi di situs tersebut.
"Saya sangat senang karena bisa belajar sejarah secara langsung. Bagaimana orang dahulu membangun gedung dari batu asli yang mungkin sekarang sulit untuk dilakukan. Ini bukan hanya sekadar ilustrasi, tetapi bentuk nyata," ungkap Ana dengan penuh antusias.
Ana juga menyampaikan pesan khusus untuk generasi muda, terutama warga Jawa, agar lebih peduli terhadap warisan sejarah.
"Pesan saya untuk anak muda, khususnya warga Jawa atau Yogyakarta, kalian harus tahu sejarah dahulu seperti apa, kerajaan-kerajaan itu bagaimana dan melestarikan budaya warisan ini," tegasnya.
Ia menekankan pentingnya pelestarian situs bersejarah untuk generasi mendatang.
"Generasi tahun 70 hingga 80-an masih merawat ini. Ke depannya, kita sebagai anak muda harus bisa melestarikan dan menjaga peninggalan terdahulu. Jangan sampai merusaknya, karena cerita-cerita ini harus tetap dijaga dan dilestarikan," pungkas Ana.
Kunjungan Ana ke Taman Sari menunjukkan bahwa daya tarik wisata sejarah Yogyakarta masih kuat di mata wisatawan nusantara. Media sosial terbukti berperan penting dalam mempromosikan destinasi wisata bersejarah ini kepada generasi muda dari berbagai daerah.
