Film Esok Tanpa Ibu angkat perasaan duka dan optimisme

id Esok Tanpa Ibu, film Esok Tanpa Ibu, Gina S Noer, Dian Sastrowardoyo,Diva Apresya

Film Esok Tanpa Ibu angkat perasaan duka dan optimisme

Suasana konferensi pers peluncuran poster dan cuplikan (trailer) film Esok Tanpa Ibu (Mothernet) di kawasan Senayan, Jakarta, Senin (15/12/2025). ANTARA/Abdu Faisal

Jakarta (ANTARA) - Penulis Gina S. Noer, yang menggarap "Esok Tanpa Ibu" bersama Diva Apresya dan Melarissa Sjarief, menjelaskan skenario film tersebut diolah dengan mengeksplorasi "anticipatory grief" yang diklaim merupakan bentuk "perfect grief".

"Ini adalah duka yang jarang dibahas, yaitu perasaan berduka karena kita tahu sesuatu akan terjadi, misalnya orang terdekat sakit atau orang tua semakin menua," kata Gina saat konferensi pers peluncuran poster dan cuplikan (trailer) film Esok Tanpa Ibu (Mothernet) di kawasan Senayan, Jakarta, Senin.

Berbeda dengan kebanyakan film fiksi ilmiah (sci-fi) pada umumnya yang menceritakan masa depan yang suram, Gina mengatakan "Esok Tanpa Ibu" justru berusaha melihat masa depan dari sisi optimisme.

Optimisme itu datang dari sosok Laras dan orang-orang seperti dia, yang masih berharap dan mencoba keras kepala sekali demi masa depan generasi mendatang, menciptakan atau menumbuhkan bunga-bunga, meskipun berhadapan dengan rusaknya alam.

Gina mengaku naskah film diolah seperti itu karena terinspirasi oleh sosok Rendy Aditya, seorang pengolah limbah di Parongpong, Bandung, yang bertanya mengapa cerita fiksi ilmiah selalu "bleak" atau suram, terasa baginya seperti tidak ada tempat bagi orang yang mencintai dunia dan memilih mengabdikan seluruh inovasi teknologi ke arah lingkungan hidup yang lebih baik di masa depan.

Menariknya, nama anak Aditya juga Rama, sama seperti nama tokoh utama dalam film "Esok Tanpa Ibu" yang diperankan oleh aktor Ali Fikry.

Diva Apresya menambahkan bahwa dia berharap cerita drama fiksi ilmiah dalam film "Esok Tanpa Ibu" dapat menantang penonton untuk berpikir dan melihat apa yang bisa mereka lakukan untuk masa depan bumi, bukan sekadar menangisi suatu peristiwa duka dengan tangisan-tangisan.

Duka yang dialami saat pandemi (tahun 2020) dijadikan pelajaran, seperti biji yang tertutup tanah, terkena hujan lalu tumbuh lagi.

Pesannya adalah harapan akan selalu ada, selama manusia mau mengakui duka itu ada dan semua berusaha untuk saling bergandengan tangan.

Sementara itu, produser sekaligus pemeran Laras dan karakter kecerdasan artifisial (AI) bernama i-BU dalam film "Esok Tanpa Ibu", Dian Sastrowardoyo, menjelaskan bahwa peran yang akan ditampilkannya merupakan bentuk kecanggihan AI dalam berbagai versi, dari yang masih kaku hingga sangat canggih bahkan menyerupai manusia.

"Nanti, yang akan teman-teman tonton di bioskop pada 22 Januari 2026 adalah [AI] yang lebih canggih lagi. Itu udah lebih seram, kan kita belum pernah berkenaan dengan yang udah segitu, yang lebih menyerupai manusia. Belum," kata Dian.

Peran i-BU diharapkan dapat membuat orang tua menyadari pentingnya untuk lebih banyak berkomunikasi dengan anak dan selalu berusaha memperbarui diri sendiri agar selalu relevan setiap merespons apapun dinamika yang terjadi dalam hidup anak-anaknya.

Dian mengatakan kesadaran itu penting mengingat orang tua tidak akan tahu, sampai kapan waktu yang dimilikinya untuk bisa bersama dengan anak-anaknya.

Pewarta :
Editor: Bambang Sutopo Hadi
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.