Jakarta (ANTARA) - Kasus dugaan korupsi di tubuh Pertamina dan pertamax oplosan dalam beberapa waktu terakhir sangat menyita perhatian publik. Bukan semata karena kekhawatiran terkait pertamax oplosan dan tanda tanya besar di kalangan masyarakat terkait jaminan keamanan BBM yang mereka beli.
Lebih dari itu, ada dugaan kerugian negara yang mencapai skala hampir Rp1.000 triliun alias 1 kuadriliun. Dan jika ini memang benar terbukti, hal itu berarti ini bukan sekadar tindak pidana biasa, tetapi sebuah kejahatan ekonomi yang berlangsung sistematis dan telah mengakar sejak era sebelum pemerintahan saat ini.
Namun, sayangnya dalam beberapa waktu terakhir terkesan ada kecenderungan tertentu dalam pemberitaan dan pembentukan opini publik yang justru seperti mengalihkan perhatian dari akar masalah sebenarnya.
Aktivis ‘98 ITB Khalid Zabidi juga menilai bahwa dugaan pengoplosan BBM bukanlah isu utama, melainkan bagian kecil dari praktik korupsi yang lebih besar. Ini adalah pernyataan yang patut direnungkan lebih dalam.
Dalam diskursus publik, sering kali muncul upaya untuk menggiring opini agar fokus pada aspek yang lebih kecil dan sensasional, sehingga substansi persoalan yang lebih besar terpinggirkan.
Khalid yang pernah menjabat sebagai komisaris salah satu anak perusahaan Pertamina itu melihat dari sudut pandang manajemen energi nasional, persoalan utama di Pertamina bukan hanya praktik pengoplosan BBM atau penyimpangan kecil dalam rantai distribusi, melainkan sistem pengawasan dan tata kelola yang harus segera diperbaiki karena ada mismanajemen yang sudah berlangsung selama beberapa dekade.
"Masyarakat luas jangan sampai teralihkan perhatiannya, isu pengoplosan BBM itu hanya bagian kecil dari praktek korupsi yang dilakukan oleh mafia BBM selama ini, kita tetap harus fokus isu korupsinya," katanya dalam sebuah kesempatan.
Potensi korupsi dalam tata kelola minyak mentah tidak hanya terjadi di hilir (seperti kasus dugaan BBM oplosan), tetapi ada kemungkinan yang jauh lebih sistemik di sektor hulu dan perdagangan internasional.
Modus operandi yang terungkap dalam kasus ini melibatkan permainan impor, pengaturan broker, dan manipulasi dalam rantai distribusi minyak yang nilainya jauh lebih besar daripada sekadar manipulasi jenis bahan bakar di tingkat SPBU.
Apa yang terjadi di Pertamina mencerminkan problem mendasar dalam pengelolaan BUMN strategis di Indonesia.
Sebagai perusahaan negara yang menguasai sumber daya energi nasional, Pertamina seharusnya menjadi ujung tombak ketahanan energi dan kesejahteraan rakyat.
Namun, dalam kenyataannya, korporasi ini kerap menjadi ladang rente bagi segelintir elite ekonomi dan politik.
Keterlibatan oknum pejabat dalam praktik korupsi menunjukkan bahwa ada mekanisme sistematis yang memungkinkan mafia migas beroperasi tanpa tersentuh selama bertahun-tahun. Ini adalah persoalan kelembagaan yang jauh lebih dalam dari sekadar skandal individu.
Dukungan terhadap langkah Kejaksaan Agung dalam membongkar kasus ini tentu patut diapresiasi, tetapi semua juga harus memahami bahwa penegakan hukum semata tidak akan cukup.
Baca juga: BBM di SPBU terjamin kualitasnya! LEMIGAS pastikan sesuai standar
Baca juga: Polemik Blending vs Oplosan, penyederhanaan istilah yang menyesatkan publik
Momentum perbaikan
Pemberantasan mafia migas harus disertai reformasi struktural dalam tata kelola energi nasional. Seperti yang disampaikan banyak kalangan bahwa momentum ini seharusnya dimanfaatkan untuk mendorong Pertamina menjadi perusahaan kelas dunia, bukan sekadar membersihkan segelintir oknum.
Jika dibandingkan dengan perusahaan migas asing misalnya Aramco atau Shell, dua perusahaan minyak raksasa dunia, perbedaan mendasar yang mencolok adalah tingkat transparansi dan efisiensi tata kelola mereka.
Aramco, meskipun dimiliki penuh oleh pemerintah Arab Saudi, memiliki standar pengelolaan yang sangat tinggi, dengan mekanisme audit yang kuat dan sistem kontrol yang ketat terhadap setiap transaksi.
Sementara Shell, sebagai perusahaan swasta multinasional, juga menerapkan tata kelola yang transparan, sehingga risiko korupsi bisa ditekan seminimal mungkin.
Sebaliknya, BUMN migas di tanah air selama bertahun-tahun lebih mirip sebagai instrumen politik daripada entitas bisnis profesional.
Campur tangan politik yang terlalu dalam, dari penunjukan direksi hingga kebijakan harga BBM, membuat perusahaan ini sulit berkembang secara optimal.
Mafia migas termungkinkan untuk berakar kuat karena ada sistem yang membiarkannya bertahan. Maka, tanpa perubahan fundamental dalam tata kelola, skandal seperti ini berpotensi akan terus berulang meskipun pelakunya berganti-ganti.
Dalam konteks kepercayaan publik, dampak kasus ini sangat besar. Masyarakat bukan hanya merasa dirugikan secara finansial, tetapi juga mengalami erosi kepercayaan terhadap lembaga negara.
Isu pengoplosan BBM, meskipun hanya bagian kecil dari masalah utama, menjadi perhatian publik karena dampaknya langsung dirasakan oleh konsumen.
Harga BBM yang cenderung tinggi, kualitas bahan bakar yang dipertanyakan, serta layanan distribusi yang kerap bermasalah semakin memperburuk citra BUMN migas di mata rakyat.
Oleh karena itu, Kementerian BUMN harus tegas dan memberikan jaminan perbaikan agar ada antisipasi dan langkah yang masuk akal sebagai perbaikan ke depan.
Langkah Menteri BUMN Erick Thohir patut didukung untuk melakukan review total Pertamina pasca-kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang yang melibatkan sejumlah pimpinan di PT Pertamina Patra Niaga, PT Pertamina International Shipping, dan PT Kilang Pertamina Internasional.
Dalam manajemen krisis, salah satu elemen penting adalah transparansi dan akuntabilitas. Pemerintah memang harus menunjukkan komitmen konkret untuk melakukan perubahan.
Jika hal ini tidak dilakukan, masyarakat akan terus merasa dikhianati, dan krisis kepercayaan terhadap Pertamina hanya akan semakin dalam.
Baca juga: BBM aman! Ini bukti tak ada oplosan Pertamax di SPBU
Langkah konkret
Pemerintah juga harus segera mengambil langkah-langkah konkret untuk memastikan kasus ini tidak terulang.
Ada beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan di antaranya dengan, memperkuat pengawasan internal dengan membangun sistem audit yang lebih ketat dan independen.
Kemudian, mendorong transparansi dalam setiap aspek bisnis Pertamina, termasuk dengan mewajibkan keterbukaan data impor dan distribusi minyak.
Selanjutnya penting sekali untuk melakukan reformasi di tingkat manajemen dengan memastikan bahwa setiap pejabat yang terlibat dalam praktik korupsi benar-benar diberi sanksi tegas, bukan sekadar rotasi jabatan.
Selain itu, harus ada dorongan untuk membuka pasar energi yang lebih kompetitif. Monopoli yang terlalu besar di sektor migas justru menjadi salah satu faktor yang memperkuat keberadaan mafia.
Dengan membuka persaingan yang sehat, akan ada insentif bagi perusahaan-perusahaan untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi.
Momentum yang diciptakan oleh pemerintahan Prabowo dalam mengungkap kasus ini harus benar-benar dimanfaatkan untuk melakukan reformasi besar-besaran.
Jika hanya sekadar menindak beberapa orang tanpa mengubah sistem, maka ini berpotensi hanya akan mengulang siklus yang sama di masa mendatang.
Kasus ini seharusnya menjadi titik balik bagi tata kelola energi nasional. Mafia migas harus diberantas sampai ke akarnya, bukan hanya ditindak di permukaan.
Pertamina harus diarahkan menjadi perusahaan yang benar-benar profesional dan transparan, bukan sekadar alat politik atau sarang korupsi.
Jika tidak, Indonesia akan terus terjebak dalam lingkaran setan yang sama di mana sumber daya energi yang seharusnya menjadi modal pembangunan justru menjadi lahan bagi segelintir orang untuk mengeruk keuntungan pribadi.
Kesimpulannya, seperti yang diingatkan banyak kalangan, bangsa ini tidak boleh terkecoh dengan isu-isu kecil yang mengalihkan fokus dari persoalan utama.
Perjuangan melawan korupsi di sektor migas bukan sekadar tentang menghukum individu, tetapi tentang membangun sistem yang benar-benar bersih dan berintegritas.
Jika bangsa ini gagal memanfaatkan momentum ini, Indonesia hanya akan menyaksikan skandal serupa di masa depan dengan aktor yang berbeda tetapi modus yang sama. Jangan sampai terjadi.
Baca juga: Sinergi dengan kejaksaan, Pertamina pastikan BBM di SPBU berkualitas
Baca juga: Dugaan oplosan Pertamax, fakta atau distorsi?
Baca juga: Pertamina pastikan kualitas Pertamax sesuai standar
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kasus Pertamina dan momentum perbaikan tata kelola energi nasional