Peneliti: Kasus kekerasan seksual di kampus ibarat gunung es

id kekerasan seksual,kampus,gunung es,fenomena, berani bersuara

Peneliti: Kasus kekerasan seksual di kampus ibarat gunung es

Dr. Lindra Darnela, S.Ag., M.Hum., peneliti dari Institute for the Study of Law and Muslim Society (ISLaMS). ANTARA/HO-Ist

Yogyakarta (ANTARA) - Dr. Lindra Darnela, S.Ag., M.Hum., peneliti dari Institute for the Study of Law and Muslim Society (ISLaMS) menyebut kasus kekerasan seksual di kampus ibarat gunung es atau kecil di permukaan, namun besar yang tersembunyi di bawahnya.

Lindra yang juga Satuan Tugas (Satgas) Pusat Layanan Terpadu (PLT) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini menjelaskan peningkatan kasus tersebut, dikarenakan semakin banyak korban yang berani bersuara.

“Kasusnya bukan tidak ada sebelumnya, hanya sekarang lebih banyak yang berani melapor, karena kesadaran terhadap apa yang disebut sebagai kekerasan seksual mulai meningkat,” ungkap Lindra dalam wawancara dengan ANTARA, di Yogyakarta, Minggu (25/5).

Ia menjelaskan selama ini banyak korban yang memilih diam, namun kini kesadaran mulai tumbuh, meski belum merata.

“Dulu diam, sekarang sudah mulai bicara. Itu pun tidak semua. Masih banyak yang memilih memendam,” lanjutnya.

Baca juga: Mendiktisaintek: Pelanggaran di kampus akan ditindak sesuai aturan

Lindra juga menyoroti bahwa kampus, termasuk institusi keagamaan seperti universitas Islam bukanlah tempat yang sepenuhnya steril dari kekerasan seksual.

PLT UIN Sunan Kalijaga misalnya, lanjut Lindra, telah menerima banyak laporan kasus, namun tidak semuanya berujung pada proses hukum. Hambatan terbesar datang dari sisi psikologis korban.

“Bahkan orang dengan pendidikan tinggi sekalipun belum tentu mau melapor ketika menjadi korban. Ada rasa malu, takut, bahkan kekhawatiran merusak kehidupan rumah tangga mereka,” katanya.

Ia menjelaskan bentuk kekerasan yang terjadi pun kian beragam, tidak hanya fisik, tapi juga verbal dan digital.

Baca juga: Jadi korban pelecehan gurunya, siswi SMK lapor polisi

Lindra mencontohkan kasus mahasiswa yang mengalami gangguan psikologis hanya karena pesan bernuansa seksual di grup perkuliahan daring.

“Ada yang merasa hanya bercanda, tapi ternyata berdampak besar pada korban. Ada mahasiswa yang tidak bisa tidur setelah mendapat pesan seksual di grup online,” jelasnya.

Dalam konteks regulasi, ia menyambut baik kehadiran Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), namun menurutnya penguatan implementasi di ranah pendidikan masih sangat diperlukan.

“Sudah ada dasar hukum yang bisa diacu, tinggal bagaimana implementasinya diperkuat di institusi pendidikan,” katanya.

Baca juga: Polda DIY menunggu laporan kasus kekerasan seksual di UGM

Meski demikian, Lindra mengingatkan bahwa regulasi saja tidak cukup untuk menghapus budaya kekerasan seksual yang sudah mengakar.

Ia menekankan pentingnya transformasi budaya dan perubahan nilai sosial secara menyeluruh.

“Kita tidak bisa hanya mengandalkan hukum, karena ini menyangkut kebiasaan, nilai, dan struktur sosial yang sudah lama tertanam,” katanya.

Sebagai peneliti aktif di bidang kekerasan seksual di pesantren dan lembaga pendidikan Islam, Lindra menegaskan bahwa institusi pendidikan memegang peran krusial dalam menciptakan ekosistem yang aman dan berkeadilan bagi semua.

“Pendidikan tinggi seharusnya menjadi ruang aman. Tapi kenyataannya, banyak korban muncul justru di dalamnya. Artinya ada yang salah dengan sistem perlindungan dan kesadaran kolektif kita,” tutupnya.

Baca juga: Jumlah korban dugaan pelecehan dokter di Malang bertambah

Baca juga: #MeToo: Perlawanan yang dimulai dari layar ponsel

Pewarta :
Editor: Nur Istibsaroh
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.