Membangun resistansi melalui algoritma

id algoritma,media sosial,aksi kolektif,mobilisasi politik Oleh Imamatul Silfia

Membangun resistansi melalui algoritma

BEM Unpad bersama koalisi masyarakat sipil menggelar aksi di halaman depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Jumat,. ANTARA/Asep Firmansyah

Memahami mobilisasi dalam algoritma

Algoritma dalam mobilisasi politik hadir selayaknya koin, menawarkan bukan hanya satu melainkan dua sisi yang tak bisa dipisahkan.

Salah satu sisi algoritma berpihak kepada yang memiliki kuasa. Seperti yang disorot oleh akademisi Australia National University, Ross Tapsell, dalam artikelnya “Social Media and Information Abundance” (2025).

Ia menjabarkan polah elite menguasai platform digital dengan kampanye disinformasi dan polarisasi demi kepentingan politik mereka. Kampanye digital ini dilakukan dengan mengorganisir kelimpahan informasi (information abundance) melalui pendengung (buzzer) hingga pemengaruh (influencer), dan telah terlihat di Indonesia sejak 2014.

Senada, akademisi Indonesia di Carleton University, Kanada, Merlyna Lim, dalam tulisannya “From Activist Media to Algorithmic Politics” (2023), menyatakan pertumbuhan populasi daring yang masif turut dibarengi dengan peningkatan kemampuan pemerintah dalam mengendalikan teknologi.

Meski begitu, kelompok penguasa bukan pemain tunggal. Kelompok yang ingin menantang status quo menempati sisi lain koin algoritma dalam mobilisasi politik.

Dalam rangkaian aksi kali ini, masyarakat sipil yang memberikan tuntutan kepada pejabat negara menjadi aktor yang dominan dalam jejaring mobilisasi digital.

Hal ini tercermin dari analisis Drone Emprit, dilansir dari akun X @DroneEmpritOffc. Satu contoh terkait insiden Brimob melindas ojol menunjukkan insiden ini dibicarakan sebanyak 17 ribu kali pada periode 28–29 Agustus 2025. Interaksi ini dilakukan oleh pengguna media sosial yang tersebar di X, YouTube, Facebook, Instagram, dan TikTok. Sebanyak 97 persen dari interaksi itu menunjukkan sentimen negatif, hanya 3 persen yang netral dan 1 persen positif.

Drone Emprit juga menganalisis sentimen isu di media daring yang sebarannya lebih merata dengan porsi 50 persen positif, 46 persen negatif, dan 4 persen netral.

Dominasi 97 persen sentimen negatif dalam media sosial menunjukkan bahwa narasi tandingan tidak berhasil mengambil porsi dalam gerakan digital ini, meski sejumlah tokoh negara telah menyampaikan permohonan maaf dan bela sungkawa.

Baca juga: DPR menyatakan setop tunjangan perumahan

Akan tetapi, tren yang berbeda terlihat dalam gerakan #BravePinkHeroGreen. Sebaran sentimen di media sosial mulai terdistribusi, dengan persentase 62 persen positif, 17 persen negatif, dan 21 persen netral.

Sentimen positif membahas warna sebagai simbol perlawanan sekaligus solidaritas. Sedangkan sentimen negatif memperdebatkan kontroversi figur dari warna dan anggapan bahwa gerakan muncul dari revolusi yang tidak organik.

Tagar #BravePinkHeroGreen menunjukkan narasi tandingan mulai bermain dan mengambil porsinya.

Tentu, tak bisa serta merta disimpulkan narasi negatif ini berasal dari kelompok penguasa, mengingat argumen yang muncul membawa nilai etika yang telah menjadi budaya luhur masyarakat.

Akan tetapi, keraguan orisinalitas gerakan muncul seusai video deepfake figur warna beredar dengan membawa narasi politis.

Seperti yang disorot oleh Vishal Jain dan Archan Mitra, dalam “The Role of Social Media in Shaping Neo-Propaganda for Populist Movement” (2025), manipulasi melalui konten hasil produksi akal imitasi (AI) seperti deepfake menjadi salah satu alat kontrol wacana politik dengan melibatkan konten yang memancing emosi dan polarisasi.


COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.