Membangun resistansi melalui algoritma

id algoritma,media sosial,aksi kolektif,mobilisasi politik Oleh Imamatul Silfia

Membangun resistansi melalui algoritma

BEM Unpad bersama koalisi masyarakat sipil menggelar aksi di halaman depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Jumat,. ANTARA/Asep Firmansyah

Gerakan kolektif melalui algoritma

Masyarakat sipil menjadi aktor dominan dalam mobilisasi digital kali ini. Bagian penting yang perlu dicatat adalah dominasi masyarakat sipil ini tidak hanya berhenti pada menyuarakan tuntutan, tetapi juga membangun resistansi.

Ketika ketegangan aksi demonstrasi memuncak, muncul kekhawatiran berulangnya tragedi tahun 1998. Trauma kolektif masyarakat berbuah aksi solidaritas perlindungan horizontal.

Pengguna media sosial rajin memproduksi konten #WargaJagaWarga dan #SipilJagaSipil. Jenis konten pun beragam, termasuk di antaranya menyebarkan informasi perlindungan, baik perlindungan hukum maupun kesehatan fisik dan mental.

Pengguna pun rajin mengingatkan pengguna lainnya untuk mengambil jeda dan tetap menjalankan kehidupan pribadi agar tidak kalut dengan melimpahnya informasi soal aksi.

Konten-konten itu disebarkan melalui templat Instagram Story; video TikTok, Reels, maupun YouTube; hingga cuitan di X maupun Facebook. Konten diunggah berkali-kali dan mendapat interaksi tinggi, hingga akhirnya penyebaran pesan terjadi secara luas dan masif.

Efektivitas dari interaksi konten yang tinggi juga terlihat pada aksi kolektif mendukung ketahanan ojol di tengah gelombang demonstrasi.

Cuitan pengguna X @sighyam yang membuat panduan membeli makanan untuk ojol melalui negara yang berbeda mendapatkan interaksi tinggi, sebanyak 1.700 ribu reply, 77 ribu repost, dan 154 ribu likes per artikel ini ditulis. Berbagai bukti tangkapan layar pemesanan hingga video reaksi para ojol memancing solidaritas yang lebih kuat untuk mereproduksi aksi ke ojol di berbagai platform dan wilayah.

Hal ini sejalan dengan temuan Inaya Rakhmani dkk dalam “Refleksi Geografi Digital: COVID-19, Perempuan, dan Jaringan Pangan Informal” (2023) bahwa teknologi digital bisa memperluas partisipasi ekonomi-politik warga biasa dengan memberikan ruang terhadap praktik alternatif redistribusi kekuasaan dan kesejahteraan. Bahkan dalam gerakan ini, praktik alternatif itu terjadi lintas geografis.

Selain itu, bentuk resistansi juga berupa konten sanggahan disinformasi, seperti ajakan demo palsu hingga deepfake figur dari warna gerakan #BravePinkHeroGreen. Analisis mengenai vandalisme pun turut disebarkan.

Konten-konten tersebut bertujuan memperluas kesadaran masyarakat terkait risiko kekerasan, kerusuhan, dan perpecahan, sekaligus mengajak publik untuk kembali memusatkan perhatian pada tuntutan perbaikan negara.

Baca juga: DPR ungkapkan gaji DPR kini Rp65 juta setelah tunjangan rumah dihapus

Gerakan menyebarkan sanggahan disinformasi ini menjadi bentuk resistansi masyarakat yang progresif. Tapsell (2025) mengatakan salah satu strategi kelompok penguasa dalam manipulasi digital adalah dengan membanjiri informasi yang sesuai dengan agenda politiknya untuk menutupi narasi oposisi.

Dengan strategi yang sama, masyarakat membanjiri informasi melalui produksi dan reproduksi konten guna menghambat penyebaran disinformasi.

Sebagaimana yang dicatat oleh Lim dalam “Social Media and Politics in Southeast Asia” (2024), perlawanan terhadap ancaman hegemoni bisa dilakukan oleh mereka yang terampil memanfaatkan alat dan teknologi digital.

Menurut Lim, ruang digital tidak bisa menjadi perangkat tunggal dalam mendorong reformasi, terutama dalam rezim otoriter yang resistan terhadap perubahan. Pun, sebaliknya, teknologi ini tidak bisa membuat otoritarianisme terwujud bila ada kekuatan tandingan yang melakukan perlawanan, baik kelembagaan maupun akar rumput (grassroot).

Bisa disimpulkan, tidak ada yang absolut dalam dinamika politik yang berkelindan dengan teknologi.

Baca juga: PAN mengajukan penghentian gaji dan tunjangan bagi Eko Patrio dan Uya Kuya dari DPR

Bukti dari premis tersebut bisa terlihat pada “17+8 Tuntutan Rakyat”, yang berhasil membuat DPR mengambil tindakan sebagai respons tuntutan sesuai dengan tenggat waktu yang ditentukan oleh gerakan sipil.

Memang, itu belum menjadi akhir dari perjuangan. Masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan oleh negeri ini.

Akan tetapi, perkembangan ini bisa dipahami sebagai buah hasil gerakan kolektif masyarakat dalam menuntut evaluasi tata kelola negara.

Menyadur tulisan Lim, dalam konteks perkawinan teknologi dan politik, perubahan bisa hadir dengan konsistensi kolektivitas yang tetap teguh memperjuangkan keadilan.

Dinamika ke depan masih akan ditentukan oleh sikap tiap aktor yang terlibat dalam proses demokrasi ini. Namun, gerakan masyarakat dalam membangun resistansi melalui ruang digital perlu mendapat pengakuan.

Keterampilan masyarakat Indonesia dalam bermedia sosial sudah sepatutnya menjadi salah satu instrumen menjaga Indonesia untuk tetap berada dalam jalur demokrasi.



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Membangun resistansi melalui algoritma


COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.