Baca juga: Komisi I DPR nilai wacana "satu orang satu akun" cegah kriminal-hoaks
Literasi digital pun tak kalah penting. Sebab, teknologi sebaik apa pun akan lumpuh bila masyarakat tidak mampu membedakan informasi sehat dan manipulatif. Program literasi perlu menyasar sekolah, kampus, hingga komunitas lokal. Publik yang kritis adalah benteng terbaik melawan hoaks.
Selain itu, perlindungan bagi kelompok rentan mutlak diperlukan. Aktivis HAM, jurnalis investigatif, minoritas agama, hingga korban kekerasan sering kali membutuhkan anonimitas untuk keselamatan. Jika aturan dipukul rata, ruang kritik bisa membeku. Hannah Arendt sudah menegaskan: pluralitas adalah inti kebebasan politik, dan anonimitas kadang menjadi syarat lahirnya pluralitas itu.
Dengan kata lain, kebijakan harus mampu membedakan antara anonimitas yang melindungi suara lemah dan anonimitas yang dipakai untuk menyerang, menebar kebencian, atau memanipulasi publik.
Baca juga: Nezar Patria: Jumlah akun medsos tidak jadi masalah asal terverifikasi
Ruang digital yang sehat lahir bukan dari kontrol semata, melainkan dari keseimbangan antara keamanan dan kebebasan. Negara memang perlu hadir, tetapi kehadiran itu sebaiknya dalam wujud pelindung, bukan pengawas.
Kebijakan satu akun per orang terdengar sederhana, tetapi risikonya besar: represi, kebocoran data, hingga hilangnya keberanian untuk bersuara. Seperti diingatkan Bauman, identitas manusia bersifat cair. Yang kita butuhkan bukan identitas yang dipaksakan, melainkan identitas digital yang dipercaya.
Ruang digital adalah cermin kehidupan demokrasi kita. Jika diisi dengan rasa takut, demokrasi kehilangan nyawanya. Tetapi jika diisi dengan kepercayaan, maka kebebasan dan akuntabilitas dapat berjalan beriringan.
*) Pormadi Simbolon, pegiat literasi, alumnus Pascasarjana STF Diryarkara Jakarta.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Jalan tengah kontroversi satu akun per orang
