Jalan tengah kontroversi satu akun per orang

id literasi digital,media sosial,satu akun,hoaks,identitas tunggal,ujaran kebencian,privasi,data pribadi,perlindungan data Oleh Pormadi Simbolon *)

Jalan tengah kontroversi satu akun per orang

Ilustrasi - Wamenkomdigi Nezar Patria menyampaikan sambutannya dalam acara AI ON DEVICE Seminar Indonesia 2025 bertema Stimulating Industrial Innovations through Edge AI di Jakarta Pusat, Selasa (23/9/2025). ANTARA/HO-Kementerian Komunikasi dan Digital

Di Indonesia

Indonesia sebenarnya sudah memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (2022). Namun, serentetan kasus kebocoran data besar membuktikan lemahnya implementasi. Data 279 juta penduduk dari BPJS Kesehatan pernah dijual bebas di forum daring. Daftar pemilih tetap Pemilu bocor menjelang 2024. Platform e-commerce besar juga sempat mengalami peretasan yang merugikan jutaan pengguna.

Kebocoran semacam ini tidak hanya merugikan secara material, tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap negara dan platform digital. Bagaimana publik bisa percaya pada kebijakan identitas tunggal bila data mereka yang sudah “resmi” justru kerap bocor dan diperdagangkan?

Alih-alih meningkatkan akuntabilitas, kebijakan ini berpotensi menambah risiko: data pribadi warga menjadi semakin terkonsentrasi dan rentan disalahgunakan, baik oleh peretas maupun oleh pihak-pihak yang memiliki akses sah tetapi tidak akuntabel.

Tanpa fondasi perlindungan data yang kuat, kebijakan satu akun per orang justru ibarat membangun rumah megah di atas pasir rapuh. Yang dibutuhkan lebih dulu adalah memperkuat infrastruktur keamanan digital, mekanisme audit independen, serta sanksi tegas bagi pihak yang lalai menjaga data warga.

Jalan tengah

Sejatinya, persoalan utama bukanlah jumlah akun, melainkan akuntabilitas. Satu orang bisa memiliki lebih dari satu akun, sejauh tetap terverifikasi. Identitas dapat diverifikasi tanpa harus dipublikasikan. Dengan demikian, privasi tetap terjaga, tetapi jika terjadi pelanggaran hukum, penegakan bisa dilakukan.

Jalan tengah dapat ditempuh melalui verifikasi berlapis. Akun biasa cukup diverifikasi dengan nomor ponsel, sementara akun yang ingin menyiarkan iklan politik, konten berpengaruh, atau mengelola komunitas besar wajib identitas resmi. Dengan sistem ini, ruang ekspresi tetap terbuka, tetapi penyebar konten berisiko tinggi lebih mudah dimintai pertanggungjawaban.

Pemerintah juga tidak bisa bekerja sendirian. Platform digital global --Meta, X, TikTok-- harus ikut bertanggung jawab dengan menyediakan mekanisme moderasi konten yang transparan. Alih-alih hanya menunggu laporan, platform perlu aktif memantau hoaks dan ujaran kebencian, sekaligus membuka ruang banding agar tidak terjadi penyensoran sewenang-wenang.


COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.