Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Komunikasi dan Digital sedang mengkaji usulan aturan satu orang hanya boleh memiliki satu akun media sosial. Wacana satu akun per orang tersebut merupakan usulan Komisi I DPR.
Menurut salah satu anggota Komisi I DPR, gagasan tersebut dinilai menjadi solusi atas keresahan nyata: derasnya arus hoaks, ujaran kebencian, serta manipulasi opini yang kerap bersandar pada akun anonim maupun buzzer (pendengung). Dengan kewajiban identitas tunggal, publik diharapkan lebih bertanggung jawab dalam bermedia sosial.
Namun, usulan itu layak dikritisi. Benarkah satu akun per orang dapat menjadi solusi? Pengalaman negara lain, dan suara para pemikir, menunjukkan bahwa persoalan tersebut lebih kompleks.
Korea Selatan pada 2007 pernah mencoba aturan nama asli di internet. Hasilnya, komentar jahat hanya turun kurang dari satu persen, sementara pengguna justru pindah ke platform luar negeri. Aturan itu akhirnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi Korea pada 2012 karena dianggap melanggar kebebasan berekspresi dan tidak proporsional.
China mengambil jalan lain dengan internet real-name terpusat (Zhang, Laney, 2025). Semua pengguna wajib terhubung dengan identitas resmi yang dikelola pemerintah. Sistem ini diklaim mampu meningkatkan kepercayaan publik. Namun, sistem ini menuai kritik karena membuka peluang pengawasan massal. Identitas tunggal memang bisa meningkatkan akuntabilitas, tetapi dengan harga mahal yaitu hilangnya privasi dan membesarnya kendali negara.
Suara para pemikir
Filsuf Michel Foucault melalui konsep panopticon sudah mengingatkan bahaya masyarakat pengawasan. Jika semua orang selalu merasa diawasi, kebebasan berekspresi bisa terkikis.
Sosiolog Zygmunt Bauman menekankan bahwa kita hidup dalam “modernitas cair,” di mana identitas manusia bersifat fleksibel dan berubah-ubah. Upaya memaksakan satu identitas tunggal justru bertolak belakang dengan realitas sosial. Dunia digital memberi ruang bagi identitas cair: orang bisa menjadi profesional, aktivis, sekaligus pribadi dalam ruang daring yang berbeda.
Filsuf Hannah Arendt mengingatkan pentingnya ruang publik sebagai arena pluralitas. Justru karena ada kemungkinan berbicara tanpa identitas yang jelas, suara kelompok lemah bisa muncul. Anonimitas, dalam konteks tertentu, adalah pelindung demokrasi.
Di era kontemporer, Shoshana Zuboff melalui gagasan surveillance capitalism menyoroti bagaimana data pribadi bisa dieksploitasi oleh korporasi. Maka, wacana satu akun per orang juga perlu dilihat dari sisi lain: apakah identitas tunggal justru akan memperbesar peluang komersialisasi data warga?
