Jakarta (ANTARA) - Tenaga Ahli Menteri ESDM Bidang Komersialisasi dan Transportasi Minyak dan Gas Bumi Satya Hangga Yudha Widya Putra meyakini panas bumi akan menjadi sumber energi saat beban dasar (baseload) yang penting bagi ketahanan energi Indonesia di masa depan.
"Saya memiliki optimisme tinggi terhadap peran energi panas bumi (geothermal) dalam peta jalan energi nasional," katanya, dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.
Dalam webinar yang diselenggarakan Society of Renewable Energy Cabang Universitas Andalas, Kamis (9/10), Hangga, panggilannya, menjelaskan Indonesia yang terletak di ring of fire merupakan negara dengan cadangan panas bumi terbesar di dunia.
Baca juga: Geolog: Penelitian geosains bisa menurunkan risiko eksplorasi panas bumi
Meskipun, saat ini Indonesia berada di peringkat kedua setelah Amerika Serikat dalam installed capacity yang sudah dimanfaatkan, namun Indonesia diprediksi akan menjadi produsen panas bumi terbesar di dunia dalam 5-10 tahun ke depan.
"Panas bumi adalah sumber energi baru terbarukan yang bisa menjadi baseload. Itulah yang membedakan panas bumi dengan sumber energi bersih lainnya," ujar dia.
Hangga melanjutkan panas bumi memiliki sejumlah keunggulan kompetitif antara lain sebagai sumber energi baru terbarukan (EBT), yang dispatchable atau mampu menyediakan listrik 24 jam terus-menerus, yang berbeda dengan sumber EBT lain seperti surya dan angin, yang bersifat variabel dan membutuhkan battery storage.
"Selain itu, panas bumi menghasilkan emisi yang sangat rendah dibandingkan bahan bakar fosil," ujar dia.
Baca juga: Pengamat UGM sebut dampak lingkungan PLTP lebih kecil dibanding konvensional
Meskipun Indonesia memiliki potensi teknis hingga 24 GW atau sekitar 40 persen cadangan dunia, namun pemanfaatannya saat ini tercatat hanya 2,7 GW.
Hangga menyebut ada tantangan besar yang menghambat akselerasi, terutama pada aspek ekonomi dan teknis, seperti dari biaya dan waktu proyek yang tinggi.
"Proyek panas bumi membutuhkan investasi modal yang besar untuk eksplorasi dan pengeboran, serta merupakan proyek jangka panjang 10-15 tahun untuk mencapai commercial operation date (COD)," ujar dia.
Tantangan lain adalah harga jual awal yakni meskipun saat ini harga jual listrik panas bumi sudah mulai kompetitif sekitar 7-9 sen per kWh, namun harga jual pada masa awal pengembangan cenderung mahal, yang menghambat percepatan.
"Ini investasi yang lama. Bisa memakan waktu 10 tahun, 15 tahun. Jadi tidak bisa langsung onstream atau langsung menghasilkan listrik," katanya, menjelaskan.
Baca juga: Perubahan iklim dongkrak suhu saat malam, termasuk Indonesia
Hangga pun melanjutkan sesuai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), pemerintah menargetkan penambahan kapasitas panas bumi 1,1 GW hingga 2029, yang akan membawa total kapasitas terpasang menjadi 4,1 GW atau diprediksi melampaui Amerika Serikat.
Untuk strategi yang diambil, pemerintah melelang 20 wilayah kerja panas bumi pada 2022-2024 dan 12 penugasan survei pendahuluan dan eksplorasi.
Menurut Hangga, dengan kebutuhan investasi panas bumi mencapai Rp363,8 triliun selama 9 tahun ke depan, potensi menciptakan 42.700 lapangan kerja dan penurunan emisi 31,1 juta ton CO2.
Sedangkan, manfaat nonlistriknya adalah pemanfaatan uap panas bumi secara langsung untuk mendukung ketahanan pangan dan ekonomi lokal, seperti budi daya buah melon, pemanfaatan uap untuk pengeringan kopi dan kentang, serta mendukung green hydrogen dan ekstraksi silika/litium untuk hilirisasi mineral.
Di sisi lain, soal isu sosial dan lingkungan seperti sengketa lahan dan kebocoran gas beracun, Hangga menegaskan aspek health, safety, security, and environment (HSSE) harus menjadi perhatian nomor satu.
"Kita selalu melakukan kajian studi dulu apakah layak untuk membangun pembangkit listrik, apakah feasible atau tidak," katanya.
Ia menambahkan pemerintah juga terus mendorong pengembangan masyarakat berkelanjutan melalui community development dan bonus produksi panas bumi yang disalurkan ke pemerintah kabupaten/kota untuk menjaga keberlanjutan proyek dan ekonomi lokal, sebagai mitigasi isu sosial.
"Secara keseluruhan, sektor energi Indonesia adalah ranah yang sangat kompleks dan dinamis, membutuhkan kerja sama lintas sektoral dan pemikiran yang solutif dari generasi muda untuk mencapai target energi nasional dan NZE (net zero emission) pada 2060," kata Hangga Yudha, menjelaskan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Tenaga Ahli Menteri ESDM : Panas bumi jadi energi masa depan RI
