Komnas Perempuan ungkapkan fenomena penurunan angka pernikahan di RI

id Komnas Perempuan ,Angka pernikahan ,Pernikahan,child free,gerakan feminis,usia produktif menikah

Komnas Perempuan ungkapkan fenomena penurunan angka pernikahan di RI

Komisioner Komnas Perempuan Prof Alimatul Qibtiyah Ph.D saat menjadi narasumber pada talkshow "Ruang Asa" yang diselenggarakan BEM KM Fisip Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) di Yogyakarta, Jumat (24/10/2025). ANTARA/Indra Kurniawan

Yogyakarta (ANTARA) - Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah mengungkapkan adanya fenomena penurunan drastis angka pernikahan di Indonesia, meskipun penduduk usia produktif untuk menikah justru meningkat.

"Ada fenomena penurunan angka pernikahan di Indonesia. Pada 2018 pernikahan mencapai 2,01 juta pasangan, menjadi hanya 1,5 juta pada 2023. Kondisi ini perlu disikapi dengan bijaksana," kata Alimatul pada temu wicara "Ruang Asa" yang diselenggarakan BEM KM Fisip Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) di Yogyakarta, Jumat.

Menurut dia, ada dua fenomena ekstrem yang terjadi pada masyarakat yaitu perempuan mapan yang memilih tidak menikah atau child-free marriage dan masih tingginya angka perkawinan anak di daerah tertentu.

"Data BPS menunjukkan penduduk Indonesia usia 20-34 tahun yang merupakan usia produktif menikah meningkat dari 62 persen, tapi angka pernikahannya justru menurun. Sekarang rata-rata usia menikah sudah di atas 30 tahun," katanya.

Terkait fenomena child-free marriage atau pasangan menikah yang memilih tidak memiliki anak, Alimatul menyampaikan pandangan yang seimbang sebagai feminis muslim.

"Dalam agama, menikah itu anjuran, bukan kewajiban. Bahkan sampai ada iming-iming menikah itu separuh dari agama untuk memotivasi orang menikah. Ini menunjukkan Al-Quran sudah memikirkan jauh ke depan bahwa akan ada masa orang enggan menikah. Memiliki anak pun bukan kewajiban," katanya.

Alimatul menemukan berbagai alasan pasangan memilih tidak memiliki anak, mulai dari kepedulian lingkungan (mengurangi sampah), hingga trauma psikologis masa kecil.

"Ada yang sangat peduli lingkungan dan menghitung berapa sampah yang dihasilkan jika melahirkan anak. Ada juga yang tidak bisa tidur mendengar tangisan bayi karena trauma masa kecil. Kita harus memahami ini," katanya.

Meskipun menikah dan memiliki anak adalah hak asasi individu, kata dia, hal tersebut tidak boleh menjadi gerakan massal.

"Silakan itu menjadi nilai pribadi karena itu hak asasi manusia, tapi jangan dijadikan gerakan. Jangan sampai ada gerakan 'ayo tidak usah menikah' atau 'ayo tidak usah punya anak'. Kalau semua tidak menikah dan tidak punya anak, siapa yang meneruskan dakwah ini?," katanya.

Menanggapi kekhawatiran gerakan emansipasi perempuan telah melenceng dari kodrat perempuan, Alimatul menegaskan pentingnya memahami konsep kesetaraan gender secara proporsional.

"Kesetaraan dan keadilan gender itu tidak berarti persis blok ketik blok. Perempuan dan laki-laki punya kodrat yang berbeda. Perempuan punya tugas reproduksi yang lebih berat dan kompleks," katanya.

Ia mengingatkan mendidik anak tidak menggunakan alat reproduksi, melainkan keterampilan dan kasih sayang yang dapat dilakukan oleh ayah dan ibu.

"Pandemi COVID-19 menunjukkan perempuan memikul beban pengasuhan 3,5 kali lipat lebih berat. Ibu tiba-tiba harus menjadi guru semua mata pelajaran. Padahal dalam teks keagamaan, mendidik adalah kewajiban bersama ayah dan ibu, bukan hanya ibu," katanya.

Sebagai penulis buku "Feminis Muslim di Indonesia", Alimatul mendefinisikan feminisme sebagai gerakan yang bertujuan membuat kehidupan perempuan lebih baik.

"Feminis bisa laki-laki atau perempuan. Definisinya adalah seseorang yang menyadari ada persoalan perempuan, lalu ada upaya menyelesaikannya sehingga kehidupan perempuan menjadi lebih baik," katanya.



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Komnas Perempuan ungkap fenomena penurunan angka pernikahan

Pewarta :
Editor: Victorianus Sat Pranyoto
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.