Belajar dari dunia
Wacana menjadikan kampus sebagai universitas riset, sesungguhnya, bukan hal baru di tingkat global. Di Jerman, misalnya, universitas tidak hanya diisi oleh profesor dan dosen, tetapi juga oleh peneliti full-time yang memiliki status, jenjang karier, dan pengakuan profesional yang jelas.
Pelbagai lembaga, seperti Max Planck Society dan Fraunhofer Society, menunjukkan bagaimana peneliti dapat bekerja di persimpangan antara universitas, negara, dan industri, tanpa harus dibebani kewajiban mengajar. Di sana, riset bukan aktivitas sampingan, melainkan inti dari kerja akademik yang dilindungi dan dihargai.
Contoh lain dapat dilihat di Inggris, yang sejak lama memisahkan jalur karier teaching-focused academic dan research-focused academic. Melalui skema research-only contracts, banyak peneliti universitas bekerja penuh waktu untuk riset dan publikasi, dengan pembiayaan yang terhubung langsung ke lembaga nasional, seperti UK Research and Innovation (UKRI).
Model ini membuat universitas tidak lagi bergantung pada "dosen serba bisa", melainkan membangun ekosistem riset berbasis kolaborasi dan spesialisasi. Dampaknya terlihat jelas: riset kampus di Inggris relatif stabil, kompetitif, dan berpengaruh secara global.
Sementara itu, di Korea Selatan, transformasi universitas menjadi institusi penggerak riset berlangsung seiring dengan kebijakan negara yang agresif mendukung riset. Banyak universitas riset memiliki profesor riset atau research fellow yang tidak diwajibkan mengajar, tetapi difokuskan pada inovasi, paten, dan kolaborasi industri.
Negara memastikan bahwa peneliti kampus tidak terjebak dalam birokrasi administratif, melainkan diberi ruang kebebasan akademik untuk menghasilkan pengetahuan dan teknologi strategis.
Dari pengalaman pelbagai negara tersebut, satu pelajaran penting dapat ditarik: universitas riset tidak lahir dari slogan, melainkan dari pengakuan struktural bahwa peneliti adalah profesi otonom.
Dorongan universitas riset juga dipertegas oleh Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Stella Christie yang menilai bahwa universitas tidak bisa lagi berhenti sebagai ruang pengajaran semata.
Dalam pernyataannya, Stella mengingatkan bahwa negara-negara yang mampu melompat secara ekonomi, seperti Jerman, Amerika Serikat, dan China, lebih dahulu menata universitasnya sebagai pusat riset dan inovasi, meski dampaknya baru terasa puluhan tahun kemudian.
Pesan ini penting: riset bukan jalan pintas, melainkan investasi jangka panjang yang menuntut konsistensi kebijakan dan keberanian negara.
Maka, ketika negara meminta kampus bertransformasi menjadi universitas riset, tanggung jawabnya tidak bisa dibebankan sepihak kepada universitas; negara juga harus memastikan ekosistem riset yang adil, peneliti yang diakui secara struktural, serta kebebasan akademik yang dijaga agar inovasi tidak lahir dari tekanan, melainkan dari kemerdekaan berpikir.
Jika Indonesia, melalui BRIN, serius membuka jabatan fungsional peneliti di perguruan tinggi, maka kebijakan ini semestinya diarahkan bukan hanya sebagai penataan administratif, melainkan sebagai fondasi perubahan paradigma. Tanpa itu, universitas akan terus terjebak pada riset simbolik; sebaliknya, dengan desain yang tepat, kampus dapat benar-benar menjelma sebagai ruang produksi pengetahuan yang merdeka dan berdampak.
