Risiko birokratisasi
Di sinilah tantangan paling krusial dari agenda universitas riset Indonesia bermula: memastikan bahwa penguatan riset tidak justru menjelma menjadi perluasan kendali birokrasi atas kampus.
Kala negara, melalui BRIN, masuk semakin dalam ke ruang universitas, selalu ada risiko bahwa riset direduksi menjadi instrumen kebijakan, diukur semata oleh target luaran, serapan anggaran, dan kepentingan jangka pendek.
Dalam situasi seperti ini, riset mudah tergelincir menjadi aktivitas administratif yang patuh, bukan praktik intelektual yang kritis dan merdeka.
Padahal, sejarah universitas modern justru memperlihatkan hal sebaliknya. Pengetahuan yang paling berpengaruh sering lahir dari kebebasan akademik, dari riset yang tidak selalu "laku" secara ekonomi, dan bahkan dari kerja ilmiah yang pada masanya dianggap tidak relevan.
Jika universitas riset dibangun dengan logika kontrol berlebihan, kampus berisiko kehilangan watak dasarnya sebagai ruang pencarian kebenaran. Kampus akan sibuk memenuhi indikator kinerja, tetapi "miskin" keberanian untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar yang justru menjadi motor kemajuan ilmu pengetahuan.
Maka, menanti era baru universitas riset, semestinya juga berarti menagih kedewasaan negara dalam mengelola riset. Negara perlu hadir sebagai penopang, bukan pengendali; sebagai fasilitator, bukan "sutradara tunggal".
Tanpa keseimbangan antara dukungan kebijakan dan penghormatan terhadap otonomi akademik, agenda "universitas riset" berisiko berhenti sebagai perubahan "kosmetik", mengganti istilah dan struktur, tetapi gagal melahirkan transformasi intelektual yang sesungguhnya.
*) Raihan Muhammad adalah pegiat hak asasi manusia, pemerhati kebijakan publik, politik, dan hukum
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menanti era baru universitas riset
