Mataram (ANTARA) - Libur Natal dan tahun baru selalu membawa dua arus besar yang bergerak bersamaan. Arus kegembiraan masyarakat yang merayakan liburan dan arus kewaspadaan aparat serta pemerintah daerah yang bersiap menghadapi risiko.
Di Nusa Tenggara Barat (NTB), akhir tahun bukan hanya soal pariwisata dan mobilitas, tetapi juga tentang bagaimana negara hadir ketika alam menunjukkan sisi paling tak terduganya.
Musim hujan 2025–2026 datang bersamaan dengan puncak liburan. Curah hujan meningkat, angin menguat, gelombang meninggi, dan potensi bencana hidrometeorologi membentang dari hulu, hingga pesisir.
Dalam situasi seperti ini, kesiapsiagaan bukan lagi slogan tahunan, melainkan kebutuhan nyata yang menyentuh keselamatan warga dan wisatawan.
NTB berada di wilayah yang secara geografis rentan. Pegunungan, daerah aliran sungai, kawasan pesisir, dan zona pariwisata yang padat pengunjung menjadikan risiko bencana semakin kompleks.
Libur panjang memperbesar tantangan itu, karena populasi di satu titik bisa melonjak drastis hanya dalam hitungan hari.
Cuaca ekstrem
Tema kebencanaan paling kekinian di NTB saat libur akhir tahun adalah meningkatnya risiko cuaca ekstrem yang polanya semakin sulit diprediksi.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mencatat kombinasi aktifnya fenomena atmosfer, seperti Madden-Julian Oscillation, gelombang Kelvin, dan sirkulasi siklonik di selatan Indonesia berkontribusi pada hujan lebat dan angin kencang.
Bencana tidak lagi datang dengan pola lama. Longsor yang dulu identik dengan wilayah utara Lombok, kini mulai bergeser ke wilayah selatan akibat alih fungsi lahan.
Banjir tidak hanya terjadi di kawasan hulu, tetapi juga di wilayah hilir, seperti Kota Mataram yang rentan limpasan air sungai dan banjir rob.
Kondisi ini menandai pergeseran risiko dari bencana alam murni ke bencana ekologis. Sampah yang menyumbat drainase, penebangan pohon di kawasan rawan, dan pembangunan tanpa daya dukung lingkungan, memperbesar dampak cuaca ekstrem.
Saat hujan turun deras, air tidak lagi memiliki ruang untuk meresap, lalu mencari jalan tercepat ke permukiman.
Libur panjang membuat dampak itu terasa berlipat. Ketika wisatawan memenuhi pantai, desa wisata, dan jalur pendakian, kapasitas lingkungan diuji pada saat yang sama dengan meningkatnya tekanan cuaca.
