Bencana tak pernah berlibur

id bencana,libur panjang,ntb,banjir

Bencana tak pernah berlibur

Arsip - Sebuah mobil menimpa mobil lainnya pascabanjir di Mataram, NTB, Senin (7/7/2025). Pemerintah Kota Mataram Provinsi NTB menyatakan banjir yang melanda pada Minggu (6/7/2025) mengakibatkan sebanyak 7.676 rumah terendam, 7.676 kepala keluarga (KK) atau sekitar 30.681 jiwa mengungsi dan satu orang meninggal dunia karena tersengat listrik di Ampenan. ANTARA FOTO/Dhimas Budi Pratama/sgd/rwa.

Mataram (ANTARA) - Libur Natal dan tahun baru selalu membawa dua arus besar yang bergerak bersamaan. Arus kegembiraan masyarakat yang merayakan liburan dan arus kewaspadaan aparat serta pemerintah daerah yang bersiap menghadapi risiko.

Di Nusa Tenggara Barat (NTB), akhir tahun bukan hanya soal pariwisata dan mobilitas, tetapi juga tentang bagaimana negara hadir ketika alam menunjukkan sisi paling tak terduganya.

Musim hujan 2025–2026 datang bersamaan dengan puncak liburan. Curah hujan meningkat, angin menguat, gelombang meninggi, dan potensi bencana hidrometeorologi membentang dari hulu, hingga pesisir.

Dalam situasi seperti ini, kesiapsiagaan bukan lagi slogan tahunan, melainkan kebutuhan nyata yang menyentuh keselamatan warga dan wisatawan.

NTB berada di wilayah yang secara geografis rentan. Pegunungan, daerah aliran sungai, kawasan pesisir, dan zona pariwisata yang padat pengunjung menjadikan risiko bencana semakin kompleks.

Libur panjang memperbesar tantangan itu, karena populasi di satu titik bisa melonjak drastis hanya dalam hitungan hari.

Cuaca ekstrem

Tema kebencanaan paling kekinian di NTB saat libur akhir tahun adalah meningkatnya risiko cuaca ekstrem yang polanya semakin sulit diprediksi.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mencatat kombinasi aktifnya fenomena atmosfer, seperti Madden-Julian Oscillation, gelombang Kelvin, dan sirkulasi siklonik di selatan Indonesia berkontribusi pada hujan lebat dan angin kencang.

Bencana tidak lagi datang dengan pola lama. Longsor yang dulu identik dengan wilayah utara Lombok, kini mulai bergeser ke wilayah selatan akibat alih fungsi lahan.

Banjir tidak hanya terjadi di kawasan hulu, tetapi juga di wilayah hilir, seperti Kota Mataram yang rentan limpasan air sungai dan banjir rob.

Kondisi ini menandai pergeseran risiko dari bencana alam murni ke bencana ekologis. Sampah yang menyumbat drainase, penebangan pohon di kawasan rawan, dan pembangunan tanpa daya dukung lingkungan, memperbesar dampak cuaca ekstrem.

Saat hujan turun deras, air tidak lagi memiliki ruang untuk meresap, lalu mencari jalan tercepat ke permukiman.

Libur panjang membuat dampak itu terasa berlipat. Ketika wisatawan memenuhi pantai, desa wisata, dan jalur pendakian, kapasitas lingkungan diuji pada saat yang sama dengan meningkatnya tekanan cuaca.

Kesiapsiagaan

Menghadapi situasi tersebut, NTB memasuki akhir tahun dengan lanskap kesiapsiagaan yang relatif aktif.

Sejumlah daerah menetapkan status siaga bencana, menggelar apel kesiapsiagaan, dan menyiapkan posko siaga 24 jam. Personel gabungan TNI, Polri, BPBD, dan instansi terkait disiagakan di berbagai titik.

Langkah ini penting sebagai fondasi respons cepat. Namun, kesiapsiagaan modern tidak cukup berhenti pada apel dan pengerahan personel. Tantangan utama justru terletak pada koordinasi lintas wilayah dan lintas sektor.

Bencana tidak mengenal batas administrasi. Hujan di wilayah hulu bisa memicu banjir di kota, sementara cuaca buruk di laut berdampak langsung pada keselamatan nelayan dan wisata bahari.

Kesiapsiagaan juga diuji di tempat tujuan wisata. Mandalika, Gili Tramena, hingga kawasan pantai di Mataram dan Lombok Tengah menjadi titik krusial.

Ketika ribuan orang berkumpul, skenario evakuasi, sistem peringatan dini, dan kesiapan infrastruktur darurat harus benar-benar matang. Di sinilah konsep rencana kontingensi menjadi relevan, bukan sekadar dokumen, tetapi panduan operasional yang dipahami semua pihak.

Posko siaga bencana yang disiapkan di kota-kota besar menunjukkan pergeseran pendekatan ke arah respons cepat berbasis komando. Hanya saja, efektivitasnya sangat bergantung pada aliran informasi yang akurat dan cepat dari lapangan, termasuk laporan warga.


Garda terdepan

Dalam banyak peristiwa bencana, masyarakat selalu menjadi pihak pertama yang merasakan dampak. Karena itu, tema penting lainnya adalah penguatan peran warga sebagai garda terdepan mitigasi. Edukasi kebencanaan, pemahaman sistem peringatan dini, dan kesiapan keluarga menjadi faktor penentu keselamatan.

NTB memiliki pengalaman panjang dengan bencana besar, termasuk gempa bumi 2018. Ingatan kolektif itu seharusnya menjadi modal sosial untuk membangun budaya siaga. Hanya saja, ingatan itu bisa memudar jika tidak dirawat melalui latihan, simulasi, dan edukasi berkelanjutan.

Pendekatan kebencanaan yang inklusif juga menjadi isu kekinian. Kelompok rentan, seperti penyandang disabilitas, lansia, dan anak-anak, membutuhkan perhatian khusus. Data terpilah dan pemetaan risiko berbasis komunitas menjadi kunci agar tidak ada yang tertinggal saat bencana terjadi.

Di sisi lain, masyarakat juga memiliki peran besar dalam pencegahan. Membersihkan saluran air, tidak membuang sampah sembarangan, menjaga kawasan hutan, dan melaporkan potensi bahaya adalah bentuk mitigasi paling sederhana, sekaligus paling efektif.

Libur panjang seharusnya tidak menjadi alasan untuk lengah terhadap tanggung jawab lingkungan.

Ulasan ini menunjukkan bahwa antisipasi bencana di NTB, saat libur akhir tahun, telah bergerak ke arah yang lebih terstruktur, tetapi masih menyisakan pekerjaan besar. Kesiapsiagaan sering kali menguat saat momentum tertentu, lalu melemah ketika situasi kembali normal.

Ke depan, kebijakan kebencanaan perlu lebih berani bergeser dari respons ke pencegahan. Penataan ruang yang konsisten, pengendalian alih fungsi lahan, dan penegakan aturan lingkungan harus menjadi bagian dari strategi jangka panjang. Tanpa itu, kesiapsiagaan akan terus berlari mengejar risiko yang semakin cepat.

Libur Natal dan tahun baru akan selalu datang setiap tahun. Pertanyaannya bukan lagi apakah bencana akan terjadi, tetapi seberapa siap kita mengurangi dampaknya. Di titik inilah, kesiapsiagaan menjadi cermin kualitas pelayanan publik dan kedewasaan kolektif sebagai masyarakat.

Ketika negara hadir bukan hanya setelah bencana, tetapi sebelum risiko menjadi petaka, maka libur panjang tidak lagi identik dengan kecemasan. Ia menjadi ruang aman bagi warga untuk merayakan waktu, tanpa harus bertaruh dengan keselamatan.






Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Bencana tak pernah berlibur

Pewarta :
Editor: Nur Istibsaroh
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.