Kesiapsiagaan
Menghadapi situasi tersebut, NTB memasuki akhir tahun dengan lanskap kesiapsiagaan yang relatif aktif.
Sejumlah daerah menetapkan status siaga bencana, menggelar apel kesiapsiagaan, dan menyiapkan posko siaga 24 jam. Personel gabungan TNI, Polri, BPBD, dan instansi terkait disiagakan di berbagai titik.
Langkah ini penting sebagai fondasi respons cepat. Namun, kesiapsiagaan modern tidak cukup berhenti pada apel dan pengerahan personel. Tantangan utama justru terletak pada koordinasi lintas wilayah dan lintas sektor.
Bencana tidak mengenal batas administrasi. Hujan di wilayah hulu bisa memicu banjir di kota, sementara cuaca buruk di laut berdampak langsung pada keselamatan nelayan dan wisata bahari.
Kesiapsiagaan juga diuji di tempat tujuan wisata. Mandalika, Gili Tramena, hingga kawasan pantai di Mataram dan Lombok Tengah menjadi titik krusial.
Ketika ribuan orang berkumpul, skenario evakuasi, sistem peringatan dini, dan kesiapan infrastruktur darurat harus benar-benar matang. Di sinilah konsep rencana kontingensi menjadi relevan, bukan sekadar dokumen, tetapi panduan operasional yang dipahami semua pihak.
Posko siaga bencana yang disiapkan di kota-kota besar menunjukkan pergeseran pendekatan ke arah respons cepat berbasis komando. Hanya saja, efektivitasnya sangat bergantung pada aliran informasi yang akurat dan cepat dari lapangan, termasuk laporan warga.
Garda terdepan
Dalam banyak peristiwa bencana, masyarakat selalu menjadi pihak pertama yang merasakan dampak. Karena itu, tema penting lainnya adalah penguatan peran warga sebagai garda terdepan mitigasi. Edukasi kebencanaan, pemahaman sistem peringatan dini, dan kesiapan keluarga menjadi faktor penentu keselamatan.
NTB memiliki pengalaman panjang dengan bencana besar, termasuk gempa bumi 2018. Ingatan kolektif itu seharusnya menjadi modal sosial untuk membangun budaya siaga. Hanya saja, ingatan itu bisa memudar jika tidak dirawat melalui latihan, simulasi, dan edukasi berkelanjutan.
Pendekatan kebencanaan yang inklusif juga menjadi isu kekinian. Kelompok rentan, seperti penyandang disabilitas, lansia, dan anak-anak, membutuhkan perhatian khusus. Data terpilah dan pemetaan risiko berbasis komunitas menjadi kunci agar tidak ada yang tertinggal saat bencana terjadi.
Di sisi lain, masyarakat juga memiliki peran besar dalam pencegahan. Membersihkan saluran air, tidak membuang sampah sembarangan, menjaga kawasan hutan, dan melaporkan potensi bahaya adalah bentuk mitigasi paling sederhana, sekaligus paling efektif.
Libur panjang seharusnya tidak menjadi alasan untuk lengah terhadap tanggung jawab lingkungan.
Ulasan ini menunjukkan bahwa antisipasi bencana di NTB, saat libur akhir tahun, telah bergerak ke arah yang lebih terstruktur, tetapi masih menyisakan pekerjaan besar. Kesiapsiagaan sering kali menguat saat momentum tertentu, lalu melemah ketika situasi kembali normal.
Ke depan, kebijakan kebencanaan perlu lebih berani bergeser dari respons ke pencegahan. Penataan ruang yang konsisten, pengendalian alih fungsi lahan, dan penegakan aturan lingkungan harus menjadi bagian dari strategi jangka panjang. Tanpa itu, kesiapsiagaan akan terus berlari mengejar risiko yang semakin cepat.
Libur Natal dan tahun baru akan selalu datang setiap tahun. Pertanyaannya bukan lagi apakah bencana akan terjadi, tetapi seberapa siap kita mengurangi dampaknya. Di titik inilah, kesiapsiagaan menjadi cermin kualitas pelayanan publik dan kedewasaan kolektif sebagai masyarakat.
Ketika negara hadir bukan hanya setelah bencana, tetapi sebelum risiko menjadi petaka, maka libur panjang tidak lagi identik dengan kecemasan. Ia menjadi ruang aman bagi warga untuk merayakan waktu, tanpa harus bertaruh dengan keselamatan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Bencana tak pernah berlibur
