Jogja (Antara Jogja) - Kewenangan legislasi Dewan Perwakilan Daerah harus diakui oleh Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi, kata seorang pakar hukum.
"Jangan sampai ada lagi klaim bahwa proses legislasi hanya ranahnya pemerintah dengan DPR saja," kata pakar hukum tatanegara Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Sri Hastuti Puspitasari di Yogyakarta, Kamis.
Menurut dia, amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan uji materi atas UU 27/2009 serta UU 12/ 2011 tentang Pembentukan Peraturan Undang-Undangan (UU P3) terhadap UUD
1945 sudah amat mengikat dan harus dipatuhi oleh institusi yang terlibat didalamnya yakni pemerintah, DPR serta DPD.
Pascaputusan itu, seharusnya DPR RI dan DPD harus bersinergi dalam proses legislasi sehingga kesejajaran wewenang dan kedudukan kedua institusi itu dapat diwujudkan.
"Keduanya (DPR dan DPD) harus sama-sama berbenah dan bersinergi. Seharusnya sekarang tidak ada lagi perselisihan kewenangan antara keduanya dalam proses legislasi," katanya.
Ia mengatakan bahwa putusan MK tersebut sesungguhnya telah menolong hubungan antara DPR dan DPD sehingga peran DPD saat ini harus dilibatkan dalam setiap pembahasan rancangan Undang-Undang, bukan hanya yang terkait dengan persoalan daerah, namun juga mengenai pendidikan, APBN serta agama.
"Apabila gugatan tersebut tidak dipatuhi maka UU yang dihasilkan oleh DPR RI tentu akan inkonstitusional," kata dia.
Namun demikian, menurut dia, pihak DPD juga harus melakukan upaya pembenahan internal.
Pembenahan yang harus dilakukan, menurut dia, antara lain berkaitan dengan pengetatan kualifikasi calon anggota DPD pada Pemilu 2014.
"Calon anggota DPD juga harus yang benar-benar memiliki kualifikasi dari daerah, bukan hanya berdasarkan popularitasnya sehingga dipilih oleh masyarakat," katanya.
Selain itu, hak yang diberikan kepada DPD untuk mengajukan rancangan undang-uandang (RUU) juga harus dimaksimalkan sebab wewenang yang diberikan kepada DPD untuk mengajukan RUU selama ini belum dimanfaatkan dengan maksimal. "Intinya keduanya (DPR dan DPD) harus sama-sama berbenah," kata dia.
(KR-LQH)
"Jangan sampai ada lagi klaim bahwa proses legislasi hanya ranahnya pemerintah dengan DPR saja," kata pakar hukum tatanegara Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Sri Hastuti Puspitasari di Yogyakarta, Kamis.
Menurut dia, amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan uji materi atas UU 27/2009 serta UU 12/ 2011 tentang Pembentukan Peraturan Undang-Undangan (UU P3) terhadap UUD
1945 sudah amat mengikat dan harus dipatuhi oleh institusi yang terlibat didalamnya yakni pemerintah, DPR serta DPD.
Pascaputusan itu, seharusnya DPR RI dan DPD harus bersinergi dalam proses legislasi sehingga kesejajaran wewenang dan kedudukan kedua institusi itu dapat diwujudkan.
"Keduanya (DPR dan DPD) harus sama-sama berbenah dan bersinergi. Seharusnya sekarang tidak ada lagi perselisihan kewenangan antara keduanya dalam proses legislasi," katanya.
Ia mengatakan bahwa putusan MK tersebut sesungguhnya telah menolong hubungan antara DPR dan DPD sehingga peran DPD saat ini harus dilibatkan dalam setiap pembahasan rancangan Undang-Undang, bukan hanya yang terkait dengan persoalan daerah, namun juga mengenai pendidikan, APBN serta agama.
"Apabila gugatan tersebut tidak dipatuhi maka UU yang dihasilkan oleh DPR RI tentu akan inkonstitusional," kata dia.
Namun demikian, menurut dia, pihak DPD juga harus melakukan upaya pembenahan internal.
Pembenahan yang harus dilakukan, menurut dia, antara lain berkaitan dengan pengetatan kualifikasi calon anggota DPD pada Pemilu 2014.
"Calon anggota DPD juga harus yang benar-benar memiliki kualifikasi dari daerah, bukan hanya berdasarkan popularitasnya sehingga dipilih oleh masyarakat," katanya.
Selain itu, hak yang diberikan kepada DPD untuk mengajukan rancangan undang-uandang (RUU) juga harus dimaksimalkan sebab wewenang yang diberikan kepada DPD untuk mengajukan RUU selama ini belum dimanfaatkan dengan maksimal. "Intinya keduanya (DPR dan DPD) harus sama-sama berbenah," kata dia.
(KR-LQH)