Yogyakarta (ANTARA) - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Daerah Istimewa Yogyakarta menelusuri penyebab masih tingginya harga beras di provinsi ini dengan menggencarkan pemantauan di level hulu hingga hilir.
"Pantauan rutin setiap minggu. Kita turun di pasar tradisional dan ritel modern. Pergerakan harga kita pantau terus," kata Kepala Bidang Kajian dan Advokasi KPPU DIY Sinta Hapsari saat dihububungi di Yogyakarta, Senin.
Menurut Sinta, pantauan di lapangan digencarkan untuk mengetahui ada atau tidaknya perilaku pedagang yang melanggar UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Berdasarkan hasil pantauan sementara, ia menyebut KPPU DIY belum menemukan praktik pelanggaran regulasi itu.
"Sejauh ini belum ada (persaingan usaha tidak sehat). Kami juga sudah bicara dengan asosiasi penggilingan padi juga," kata dia.
Kajian terhadap tingginya harga beras di DIY, diakui Sinta, tidak sekadar berfokus pada perilaku pedagang, akan tetapi berpijak pula pada ketersediaan beras di lapangan yang tidak jauh berbeda dengan kondisi nasional.
Menurut Sinta, melambungnya harga beras antara lain dipengaruhi alih fungsi lahan pertanian yang terus meluas, tingginya harga pupuk, persoalan iklim, hingga berkurangnya SDM petani yang mengakibatkan produksi beras merosot.
"Sedangkan permintaan kita naik terus. Kalau dari gambaran secara nasional saja kita lumayan besar antara produksi beras dan konsumsi kita. Sementara budaya makan kita kalau enggak makan nasi belum kenyang," ujar dia.
Selain itu, harga gabah kering giling (GKG) di level petani yang menyentuh Rp9.000 per kg, juga membuat kenaikan harga beras baik premium maupun medium tidak terelakkan hingga melampaui harga eceran tertinggi (HET).
Berdasarkan kajian KPPU DIY, lonjakan harga beras sejatinya sudah terjadi sejak 2021 dengan frekuensi kenaikan yang terus meningkat.
Ia berharap masa panen raya padi di DIY yang diperkirakan pada April-Mei 2024 mampu menekan biaya produksi beras.
Sebelumnya, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) DIY menyebutkan potensi panen raya padi pada April-Mei 2024 di wilayah ini mencapai 303.542 ton gabah kering giling (GKG), sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat dan menekan harga beras di pasaran.
Kepala Bidang Tanaman Pangan DPKP DIY Andi Nawa Candra menuturkan masa tanam padi di DIY yang sesuai siklusnya jatuh pada Oktober-Desember 2023, harus mundur karena hujan baru turun pada Januari 2024 akibat fenomena El Nino.
Dengan demikian, apabila diakumulasi, potensi produksi padi di DIY sejak Januari hingga Mei 2024 diperkirakan total mencapai 389.001 ton GKG atau setara 245.849 ton beras dengan luas lahan panen mencapai 68.121 hektare sawah.
"Pantauan rutin setiap minggu. Kita turun di pasar tradisional dan ritel modern. Pergerakan harga kita pantau terus," kata Kepala Bidang Kajian dan Advokasi KPPU DIY Sinta Hapsari saat dihububungi di Yogyakarta, Senin.
Menurut Sinta, pantauan di lapangan digencarkan untuk mengetahui ada atau tidaknya perilaku pedagang yang melanggar UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Berdasarkan hasil pantauan sementara, ia menyebut KPPU DIY belum menemukan praktik pelanggaran regulasi itu.
"Sejauh ini belum ada (persaingan usaha tidak sehat). Kami juga sudah bicara dengan asosiasi penggilingan padi juga," kata dia.
Kajian terhadap tingginya harga beras di DIY, diakui Sinta, tidak sekadar berfokus pada perilaku pedagang, akan tetapi berpijak pula pada ketersediaan beras di lapangan yang tidak jauh berbeda dengan kondisi nasional.
Menurut Sinta, melambungnya harga beras antara lain dipengaruhi alih fungsi lahan pertanian yang terus meluas, tingginya harga pupuk, persoalan iklim, hingga berkurangnya SDM petani yang mengakibatkan produksi beras merosot.
"Sedangkan permintaan kita naik terus. Kalau dari gambaran secara nasional saja kita lumayan besar antara produksi beras dan konsumsi kita. Sementara budaya makan kita kalau enggak makan nasi belum kenyang," ujar dia.
Selain itu, harga gabah kering giling (GKG) di level petani yang menyentuh Rp9.000 per kg, juga membuat kenaikan harga beras baik premium maupun medium tidak terelakkan hingga melampaui harga eceran tertinggi (HET).
Berdasarkan kajian KPPU DIY, lonjakan harga beras sejatinya sudah terjadi sejak 2021 dengan frekuensi kenaikan yang terus meningkat.
Ia berharap masa panen raya padi di DIY yang diperkirakan pada April-Mei 2024 mampu menekan biaya produksi beras.
Sebelumnya, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) DIY menyebutkan potensi panen raya padi pada April-Mei 2024 di wilayah ini mencapai 303.542 ton gabah kering giling (GKG), sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat dan menekan harga beras di pasaran.
Kepala Bidang Tanaman Pangan DPKP DIY Andi Nawa Candra menuturkan masa tanam padi di DIY yang sesuai siklusnya jatuh pada Oktober-Desember 2023, harus mundur karena hujan baru turun pada Januari 2024 akibat fenomena El Nino.
Dengan demikian, apabila diakumulasi, potensi produksi padi di DIY sejak Januari hingga Mei 2024 diperkirakan total mencapai 389.001 ton GKG atau setara 245.849 ton beras dengan luas lahan panen mencapai 68.121 hektare sawah.