Jogja (Antara Jogja) - Direktur Eksekutif Focus on the Global South, Pablo Solon mengatakan perjanjian perdagangan bebas hanya akan menguntungkan segelintir negara-negara maju dibanding negara-negara berkembang.
"Dalam perjanjian perdagangan bebas (`Free Trade Agreement`/FTA) maka akan terjadi penyamarataan antara industri negara-negara yang sudah maju dan negara yang masih berkembang. Padahal, masing-masing negara memiliki situasi dan kondisi yang berbeda," kata Pablo saat menjadi pembicara dalam dialog bertajuk `Pukulan Akhir Bagi WTO`, di Yogyakarta, Selasa.
Menurut dia, penyamarataan persaingan dalam FTA itu merupakan mekanisme yang tidak adil, serta berimbas pada kepentingan semua negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia atau "World Trade Organisation" (WTO).
"Tidak ada keberpihakan terhadap negara-negara yang lemah. Justru dalam FTA negara-negara yang kuat akan mengeksploitasi negara yang lemah," kata mantan Duta Besar Bolivia untuk Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2009-2011 ini.
Apabila sebuah negara telah bergabung dalam FTA atau WTO, menurut dia, maka negara tersebut tidak diperkenankan untuk memperlakukan secara khusus perusahaan nasional, melainkan harus menyamaratakan dengan perusahaan milik asing yang ada di negara itu.
Sementara itu, kata dia, negara Bolivia saat ini sedang melakukan perlawanan untuk tidak bergabung dengan FTA melalui pendirian kawasan perdagangan khusus negara Amerika Latin.
Dalam FTA, menurut dia, antara lain juga akan mengatur terkait investasi, hak kekayaan intelektual (HKI), selain perdagangan itu sendiri.
"Untuk HKI, negara-negara yang memproduksi produk temuan wajib membayar mahal royalti kepada negara penemu ide produk tersebut. Padahal, nilai riil harga produk tersebut sebenarnya hanya 10 persen dari hak paten," kata dia, yang pernah bertugas sebagai perwakilan negara Bolivia di bidang perdagangan, dan isu integrasi ini.
Selain itu, dalam FTA juga akan memberikan tuntutan bagi negara-negara berkembang untuk melindungi investor-investor asing yang terdiri atas negara-negara maju.
Hal itu justru berpotensi untuk menghegemoni perekonomian negara-negara berkembang.
Sementara itu, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Kirnadi pada acara tersebut mengatakan FTA telah membuat banyak industri, mulai garmen dan tekstil di Indonesia kolaps, sehingga mendorong peningkatan jumlah pengangguran.
"FTA baik dalam bentuk `Central America Free Trade Agreement (CAFTA)` dan `Asean-China Free Trade Area (ACFTA)` hanya menjadikan Indonesia sebagai pasar terbesar bagi negara-negara maju seperti China yang mematikan sistem ekonomi lokal," katanya.
Sehingga, kata dia, pihaknya juga mengajak berbagai gerakan sosial untuk mengkritisi kembali pembentukan WTO serta FTA yang akan dilakukan pada 3-6 Desember 2013 di Bali.
Acara dialog yang diselenggarakan oleh DPD KSPSI DIY itu dihadiri berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat serta organisasi buruh se-Provinsi DIY.
(KR-LQH)
Pablo Solon: perdagangan bebas untungkan negara maju
Pablo Solon (Foto focusweb.org)
