Jakarta (Antara Jogja) - Pertengahan Juni 2016, 12 kapal nelayan Tiongkok
di perairan Natuna, Indonesia ditembaki oleh Kapal Republik Indonesia
(KRI) Imam Bonjol 383, korvet kelas Parchim buatan Jerman Timur.
Satu
kapal mereka ditangkap dan ditarik ke daratan Provinsi Kepulauan Riau.
Kementerian Luar Negeri Tiongkok langsung melayangkan protes dan
mengklaim ada warganya yang mengalami luka tembak akibat tindakan TNI AL
tersebut.
Indonesia bergeming. Tindakan kapal-kapal Tiongkok
tersebut sudah menyalahi aturan. Mereka mencari ikan di zona ekonomi
ekslusif (ZEE) Indonesia yang total luasnya mencapai 2,7 juta kilometer
persegi.
Selain menyatakan akan menjawab protes tersebut,
pemerintah Indonesia melakukan satu hal yang cukup mengejutkan:
mengadakan rapat kabinet terbatas dan dipimpin langsung Presiden Joko
Widodo di KRI Imam Bonjol, Perairan Laut Cina Selatan.
Pemerintah menyimbolkan diri tidak gentar di hadapan negara dengan lebih dari satu miliar penduduk itu.
Walau
ada pengawalan yang berbau "perlindungan" dari kapal penjaga pantai
Tiongkok Haijing 3303, TNI AL telah melakukan tindakan yang benar:
melakukan peringatan dari verbal dan memuntahkan peluru ketika semua itu
tidak digubris.
Kedaulatan
Sebelumnya tidak pernah ada Presiden Indonesia yang
pernah mengadakan rapat kabinet di atas kapal perang, di rentang
beberapa hari pascakonflik yang melibatkan KRI tersebut. Di lokasi
kericuhan itu pula.
Dan itu dilakukan Presiden Joko Widodo, presiden yang berlatar
belakang masyarakat sipil lulusan Fakultas Kehutanan UGM, pada Kamis
(23/6).
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Panjaitan
sempat memberikan pernyataan yang diplomatis untuk "meredakan suhu".
Luhut bilang Presiden ke Laut Cina Selatan karena memang belum pernah ke daerah itu dan sekalian melihat-lihat alutsista.
Namun, itu tidak bisa menutupi pesan kuat yang menunjukkan bahwa
pemerintah Indonesia siap menegakkan kedaulatan dengan mengusir siapapun
yang berusaha melanggarnya.
Mencederai kedaulatan dengan
berbagai cara, termasuk mengambil ikan, adalah tindakan berat yang harus
ditindak dengan sangat serius. Ini disepakati secara internasional dan
dilindungi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) dan kesepakatan
ASEAN-Tiongkok yang tertuang dalam "Declaration on the Conduct of
Parties in the South Cina Sea" (DOC), disepakati pada tahun 2002.
DOC ini ketika itu ditandatangani Tiongkok yang diwakili Utusan Khusus sekaligus Wakil Menteri Luar Negeri Wang Yi.
Indonesia Terlibat?
Adapun Indonesia sendiri sebenarnya tidak memiliki kepentingan di Laut Cina Selatan ("nonclaimant state").
Akan
tetapi, akhir-akhir ini keterlibatan Indonesia dalam konflik itu
semakin tampak seiring seringnya kapal berbendera Tiongkok beroperasi di
Laut Cina Selatan yang berada di wilayah RI, masuk dalam perairan
Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.
Sejatinya, konflik
Laut China Selatan melibatkan Tiongkok dengan empat negara ASEAN yaitu
Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam dan Myanmar.
Saling klaim kekuasaan ini menyebabkan terjadi beberapa kali
"gesekan" di wilayah tersebut, seperti yang terjadi pada 29 Januari
2015, ketika Filipina menuding kapal penjaga pantai Tiongkok sengaja
menabrak tiga kapal nelayannya di Kepulauan Spratly, wilayah
perselisihan di Laut Cina Selatan.
Apa pentingnya Laut Cina
Selatan?Laksamana Pertama Dadang Sobar Wirasuta, dalam tulisannya di
Jurnal Pertahanan Desember 2013 (Volume 3/Nomor 3), berjudul Keamanan
Maritim Laut Cina Selatan: Tantangan dan Harapan, mengatakan bahwa
kawasan Laut Cina Selatan sangat strategis secara geografis karena
merupakan jalur perdagangan (Sea Line Of Trade/SLOT) dan jalur
komunikasi internasional (Sea Line of Communication/SLOC) yang
menghubungkan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
Sementara secara ekonomi, lanjut Dosen Universitas Pertahanan itu, Laut
Cina Selatan mempunyai potensi sumber daya alam yang besar, terutama
minyak bumi, gas alam, dan perikanan. Dari sudut pandang politik,
wilayah itu berkaitan dengan kedaulatan (perbatasan maritim dengan
negara tetangga) dan stabilitas politik regional ASEAN.
Indonesia
yang awalnya "hanya" berperan sebagai penengah dan pendamai antarnegara
yang berkonflik, tanpa disangka, mulai terlibat aktif seiring masuknya
kapal-kapal nelayan Tiongkok ke Laut Cina Selatan perairan Kepulauan
Natuna.
Beberapa kali Indonesia terpaksa harus menembak kapal
nelayan Tiongkok yang masuk tanpa izin, seperti terjadi pada akhir Mei
2016, ketika KRI Oswald Siahaan 354 menembak dan menangkap kapal nelayan
Tiongkok, Gui Bei Yu 27088.
Ah, semoga pesan dari Imam Bonjol bisa berdampak pada Tiongkok dan, menjadi peringatan pula bagi negara-negara lain.
Berita Lainnya
Muhaimin: Bacalon kepala daerah dari PKB harus sosok solutif
Minggu, 5 Mei 2024 6:47 Wib
Bandara Sam Ratulangi pastikan Airside bersih dari abu vulkanik Gunung Ruang, Sulut
Minggu, 5 Mei 2024 6:38 Wib
Bupati Gunungkidul mengingatkan orang tua awasi anak dari ancaman medsos
Sabtu, 4 Mei 2024 17:24 Wib
Marco Reus hengkang dari Borussia Dortmund
Sabtu, 4 Mei 2024 4:31 Wib
Bulog agar perkuat cadangan pangan di Sleman, DIY, dari produksi dalam negeri
Jumat, 3 Mei 2024 9:05 Wib
Gumpalan asap putih kelabu bumbung tinggi dari kawah Gunung Ruang, Sulut
Jumat, 3 Mei 2024 7:39 Wib
12 ribu warga radius 7 km dari Gunung Ruang, Sulut, harus diungsikan
Jumat, 3 Mei 2024 5:28 Wib
Indonesia tertinggal 1-2 dari Irak saat "extra time" pertama
Jumat, 3 Mei 2024 1:02 Wib