Seperti halnya peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) yang diperingati setiap 31 Mei yang baik untuk kesehatan, namun perlu mempertimbangkan sisi ekonomi bila ditujukan untuk menghentikan produksi tembakau.
"Pengambil kebijakan harus paham betul tujuan mulia dibalik HTTS bila akhirnya hanya mematikan industri tembakau di Indonesia. Jangan sampai pengambil kebijakan mematikan industri tembakau dalam negeri di tengah konsumsi rokok dari masyarakat Indonesia," kata dia dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.
Dirinya menjelaskan hasil tembakau di Indonesia tak hanya berjalan pada bidang kesehatan saja, tetapi juga sektor ekonomi, sosial, dan budaya. Oleh karena itu, apabila hasil tembakau dimatikan, sangat dikhawatirkan Indonesia akan bergantung terhadap pada tembakau dari luar negeri, sedangkan Indonesia memiliki sumber daya tembakau melimpah dan perokok aktif yang banyak.
Lebih lanjut dirinya mengingatkan IHT di Indonesia sudah menjadi warisan turun-temurun. Sehingga masyarakat tidak dapat dipisahkan dari tembakau, serta mengingatkan bahwa pemerintah Indonesia punya kedaulatan penuh termasuk untuk mengatur soal IHT.
"Bila konsumsi rokok di Indonesia masih tinggi dan industri tembakau dimatikan, bisa dibayangkan berapa banyak pekerja Indonesia yang akan kehilangan pekerjaan dan berapa banyak negara akan kehilangan pendapatan. Bisa jadi justru ini akan diraup oleh industri tembakau di luar negeri, baik yang legal maupun ilegal," katanya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pakar ingin RI tak terpengaruh agenda global soal industri tembakau