Yogyakarta (ANTARA) - Enam kelompok teater tampil dalam pentas seni teater Parade Teater Yogyakarta "Linimasa#7" di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) pada 16-18 Oktober 2024 mulai pukul 19.00 WIB
"Enam kelompok teater lintas genre dan bentuk itu antara lain Teater Sanggar Anak Alam, Studi Seni Ngathabagama, Teater Mlati, Kinemime Nusantara, Young Artisy From Yogyakarta, dan Komunitas Manah Ati," kata Kurator "Linimasa#7" Elyandra Widharta di Taman Budaya Yogyakarta, Selasa.
Menurut dia, enam kelompok itu terpilih sebagai penampil setelah melalui proses kurasi dari jumlah total pelamar open proposal "Linimasa#7" yang mencapai 26 proposal dari berbagai kelompok teater di DIY. Sementara enam kelompok ini sudah berproses sejak bulan Agustus.
Kegiatan "Linimasa#7" itu diharapkan menjadi program pengembangan seni teater Taman Budaya Yogyakarta khususnya basis penciptaan teater bagi kelompok teater di Yogyakarta.
"Bahkan, ada kelompok yang mengambil langkah riset teater dalam penciptaan lakonnya. Pementasan ini merupakan dukungan dari Dana Keistimewaan, Taman Budaya Yogyakarta dan 12 Tahun Keistimewaan Yogyakarta. Digelar selama tiga hari dengan gratis dan untuk umum," ujarnya.
Kepala TBY Purwiyati mengatakan bahwa Linimasa menjadi salah satu ruang yang diharapkan melahirkan karya apik dari seniman teater Yogyakarta. Seniman teater diharapkan melahirkan karya yang berbeda dari yang lainnya.
"Kami sengaja memberikan ruang berkreasi untuk seniman lintas disiplin termasuk teater. Momentum ini sebagai ruang sutradara muda untuk melahirkan karya seni teater yang menarik bagi audiens," katanya.
Pentas seni teater "Linimasa#7" dilatarbelakangi kondisi Yogyakarta telah menjadi bagian dari jaringan pariwisata global dan kota yang terus berkembang. Segenap upaya dari penentu kebijakan dalam memperkuat identitas lokal dengan melakukan terobosan, membangun segenap tata nilai kehidupan.
Sudah tentu ada beberapa nilai-nilai lama yang dibangkitkan kembali, ada yang juga hilang, dan nilai-nilai baru tumbuh dengan cepat apalagi dengan perkembangan teknologi komunikasi. Jika bisa disederhanakan misalkan pembangunan sebuah rumah tentu akan merubah lahan demi membentuk ruang baru.
Rerumputan, perdu, tanaman bunga liar telah menghilang. Demikian juga setelah ruang terbentuk maka para juru bangun pergi, desain ruang telah menjadi arsip. Pemilik rumah baru juga mungkin berasal dari wilayah lain atau kota lain yang meninggalkan kenangan di ruang lampaunya.
Dalam skala yang lebih besar, membangun kota juga mendirikan gedung-gedung megah untuk hotel, perkantoran, jalan lintas kota dan provinsi, tentu akan merubah ruang- ruang lama yang memiliki "kehidupan".
Kehidupan dalam hal ini adalah kompleksitas nilai yang berbentuk benda (tangible) maupun tak benda (intangible). Semuanya adalah teks yang di antaranya tentu memiliki makna. Bagaimana bisa menemukan dan memilih teks-teks yang sangat berarti untuk dikembangkan secara imajinatif sebagai karya baru.
Dari kompleksitas tersebut jelas ada fenomena yang sedang bergeser. Yogyakarta menjadi bagian dari perubahan sosial yang cukup cepat itu. Mulai muncul ancaman-ancaman dan potensi dari persoalan pelik seputar sampah, dinamika sosial-ekonomi, kontestasi politik lokal menjelang pilkada, relasi kuasa, ruang margin terdampak upaya revitalisasi benteng keraton, sesekali teror kekerasan jalanan dan sebagainya.
Yogyakarta hari ini makin bising dan macet. Sebagian ruang-ruang romantisme dalam gang-gang kampung mulai terpinggirkan. Sebagian tinggal menjadi arsip yang hidup. Carut marut dan saling berkelindan kota adalah teks-teks yang berjejalan dengan dinamis dan transformatif.
Sebagai tantangan wacana dan produksi artistik, tema tersebut sebagai rujukan untuk dijelajahi dalam proses kreatif. Bagaimana teater sebagai seni pertunjukan merespons tentang fenomena dinamika kota.