Hikmah di balik langit runtuh Buduran, Sidoarjo

id Al Khoziny Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, pesantren roboh, Basarnas, BNPB Oleh M. Riezko Bima Elko Prasetyo

Hikmah di balik langit runtuh Buduran, Sidoarjo

Keluarga korban bangunan mushalla ambruk menunggu informasi terbaru dan perkembangannya di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Kecamatan Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, Sabtu (4/10/2025). Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari menyatakan total korban tercatat sebanyak 167 orang, 118 orang telah ditemukan dengan rincian 103 orang selamat, 14 orang meninggal dunia dan satu orang kembali ke rumah tanpa memerlukan penanganan medis lanjutan dan sebanyak 49 orang diduga masih tertimbun material bangunan. ANTARA FOTO/Umarul Faruq/tom.

Jakarta (ANTARA) - Adzan Ashar baru saja mereda ketika dentuman keras memecah sore di Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (29/9).

Dalam hitungan detik, lantai atas bangunan Pesantren Al-Khoziny runtuh menimpa musholla di bawahnya. Debu pekat mengepul, menutup pandangan, jerit santri bersahutan, dan waktu seolah membeku. Sore yang mestinya diisi doa yang khusyuk hingga menembus langit, berubah menjadi panggung duka yang menelan jiwa-jiwa belia.

Para santri yang tengah beraktivitas di musholla tak pernah menyangka atap di atas mereka ambruk tiba-tiba. Tidak ada tanda jelas sebelumnya, hanya retakan kecil di dinding yang luput dari perhatian.

Seorang santri bernama Wahid mengisahkan bagaimana ia lolos dari maut. Saat shalat Ashar berjamaah, ia mendengar bunyi “krek” dari atas. Bangunan bergoyang, lalu bagian ujung musholla ambruk dan merembet ke bagian lain.

Wahid bergegas menyelamatkan diri, sembari berteriak agar teman-temannya ikut keluar. Namun, tak semua sempat mengikuti langkahnya. Lebih dari seratus santri berada dalam musholla saat itu, sebagian tertimbun dalam reruntuhan.

Baca juga: Kapolda Jatim: Penyebab ambruknya Ponpes Al Khoziny masih diselidiki

Bagi keluarga korban, sore itu menjadi kabar buruk yang tak terbayangkan. Di halaman pesantren, orang tua berdiri gemetar menanti kabar anak mereka. Ada yang memegang tasbih, mulutnya bergetar melafalkan doa. Ada pula yang hanya menatap kosong ke arah puing.

Beberapa ibu jatuh pingsan ketika mendengar nama anaknya masuk daftar korban, sementara yang lain menangis lega karena putranya selamat meski badan penuh debu. Pagar pesantren pun berubah menjadi tembok air mata, tempat duka dan doa berpadu.

Kabar ini segera mengundang para pewarta dari dalam dan luar negeri. Dari balik sorotan kamera dan ketikan cepat mereka, tragedi Buduran menyebar ke khalayak luas. Dunia menoleh pada sebuah pesantren tua yang kini berubah jadi lokasi bencana.

Tim penyelamat dari Basarnas, BNPB, BPBD, TNI/Polri, Tagana, pemadam kebakaran, hingga relawan bergerak cepat. Namun, upaya evakuasi bukan perkara mudah. Di bawah komando darurat, mereka membangun lorong sempit berdiameter hanya 60 centimeter dan kedalaman 80 centimeter untuk menembus reruntuhan beton. Petugas harus merayap, bahkan berbaring berjam-jam lamanya.

Bukan tidak memiliki teknologi modern, tapi semua dilaksanakan tim penyelamat demi asa mengevakuasi santri dengan selamat. Petugas memutuskan evakuasi dengan manual. Suara mesin pemotong besi bercampur dengan teriakan instruksi untuk berhati-hati karena setiap getaran berisiko memicu runtuhan baru.

“Lokasinya sangat berisiko. Kami harus masuk manual, bahkan merayap tiga jam untuk menembus sisa bangunan,” kata Direktur Operasi Basarnas, Yudhi Bramantyo di posko media center darurat.

Malam tiba, tapi evakuasi tetap berlanjut. Lampu sorot dipasang, menyinari puing yang menelan banyak santri. Bau debu dan keringat bercampur jadi satu, tetapi tak ada kata mundur. Setiap tubuh yang ditemukan, entah hidup atau tidak, disambut doa lirih dan sorakan kecil bercampur haru.

Baca juga: Basarnas kembali evakuasi empat korban Ponpes Al Khoziny

Lebih dari seabad

Pesantren Al-Khoziny sendiri bukan sekadar lembaga biasa. Berdiri sejak 1920 oleh KH Khozin, seorang ulama kharismatik yang merupakan menantu pengasuh Pesantren Siwalan Panji, pesantren ini telah menjadi pusat pendidikan agama di Sidoarjo.

Selama seabad lebih, ribuan santri datang menimba ilmu, menghafal Al-Qur’an, dan hidup dalam kebersamaan nan sederhana. Namun, sejarah panjang itu kini diuji oleh tragedi. Bangunan yang mestinya aman untuk belajar justru runtuh karena kelalaian dalam hal konstruksi.

Menteri Agama Nasaruddin Umar menegaskan, peristiwa ini harus menjadi pelajaran berharga, terutama soal aspek fisik dan teknis pembangunan lembaga pendidikan. Ia menyoroti banyak pesantren yang dibangun swadaya tanpa pengawasan teknis memadai, termasuk Al-Khoziny.

“Kita semua perlu introspeksi. Harapannya, seluruh konstruksi baik di pesantren maupun non-pesantren mengikuti aturan demi keselamatan bersama,” ujarnya.

Ahli konstruksi kini meneliti reruntuhan. Hasil awal menunjukkan adanya kesalahan struktur; beban lantai atas tidak seimbang dengan daya dukung tiang penyangga. Tekanan berlebih dari aktivitas pembangunan lantai atas sebelum kejadian diduga mempercepat ambruknya bangunan.

Tragedi ini menyoroti lemahnya pengawasan pembangunan, khususnya di lembaga pendidikan berbasis keagamaan. Banyak pesantren dibangun dengan semangat swadaya, tapi tanpa pendampingan teknis. Niat baik menyediakan ruang belajar justru berujung bencana bila standar keselamatan diabaikan.

Baca juga: Menko PM dan Menko PMK sepakati dua langkah cegah ponpes ambruk

Enam hari pasca-peristiwa, korban terus bertambah. Hingga Sabtu (4/10) malam, total korban mencapai 124 orang: 104 selamat, 20 meninggal dunia, 15 di antaranya belum teridentifikasi, sementara 48 lainnya masih tertimbun. Ambulans hilir-mudik membawa korban ke rumah sakit di Sidoarjo, Surabaya, hingga Mojokerto.

Namun, di balik duka, ada solidaritas yang tumbuh terjaga. Relawan dari berbagai daerah berdatangan. Mahasiswa, organisasi masyarakat, hingga kelompok lintas iman ikut membantu. Dapur umum didirikan, bantuan logistik terus mengalir, dan doa untuk keselamatan tak henti dipanjatkan dari masjid-masjid di Jawa Timur.

Baca juga: Operasi SAR Ponpes Al Khoziny masuk tahap evakuasi korban meninggal

Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, menyampaikan duka mendalam sekaligus menyerukan agar tragedi ini menjadi momentum perbaikan. Ia memastikan seluruh biaya pengobatan ditanggung pemerintah, dan proses identifikasi korban meninggal dikawal tim forensik kepolisian.

Tragedi Buduran pada akhirnya bukan sekadar kisah tentang bangunan yang runtuh. Ia adalah tentang tanggung jawab karena ada nyawa muda yang mestinya terlindungi, serta tentang rapuhnya aturan-pengawasan pembangunan pesantren.

Agaknya tidak ada jawaban tunggal untuk siapa yang bertanggung jawab atas peristiwa ini. Akan tetapi, hal terpenting adalah tragedi ini melahirkan harapan bahwa pemerintah akan lebih tegas mengawasi izin mendirikan bangunan. Setiap pesantren akan mendapat pendampingan teknis, sehingga santri dapat belajar dengan tenang tanpa rasa takut.



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Langit runtuh Buduran


Editor: Nur Istibsaroh
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.