Jakarta (ANTARA) - Bank Indonesia menyatakan sektor industri rumah tangga dapat mempengaruhi kondisi perbankan dan ekonomi nasional sebab salah satu sumber pembiayaan industri ini berasal dari lembaga keuangan.
"Pada kondisi defisit sektor rumah tangga akan mencari sumber investasi melalui pinjaman lembaga keuangan, sehingga kesehatan rumah tangga dapat mempengaruhi sektor perbankan," kata Direktur Pengaturan dan Penelitian Bank Indonesia Mulya Siregar dalam Seminar Potensi Keuangan Rumah Tangga Indonesia, di Jakarta, Kamis.
arena itu, menurut Mulya, perkembangan sektor rumah tangga menjadi penting. Untuk mengukur dan memonitor sektor ini perlu data untuk menggambarkan sektor rumah tangga.
"Saat ini data mengenai sektor rumah tangga masih terbatas, maka sebagai langkah awal Bank Indonesia telah melakukan survei neraca keuangan rumah tangga sejak 2007. Hasil survei dapat digunakan untuk membangun neraca rumah tangga secara nasional khususnya rumah tangga yang memiliki pengaruh pada sektor keuangan nasional dan perbankan," kata Mulya.
Menurut Mulya, sektor rumah tangga memiliki pengaruh terhadap pencapaian stabilitas moneter dan sistem keuangan. Untuk mengetahui neraca keuangan pelaku rumah tangga dapat dilihat dari misalnya tabungan dan pengeluaran rumah tangga.
"Survei juga bisa dilakukan terhadap deposito, saham dan surat berharga lain, atau aset lain seperti rumah dan tanah," kata Mulya.
Potensi pembiayaan
Deputi Direktur Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan Yunita Resmi Sari mengatakan di sisi lain potensi pembiayaan terhadap sektor rumah tangga saat ini masih sangat tinggi, sebab likuiditas rumah tangga masih tinggi, tingkat utang dalam membiayai aset-aset juga rendah, serta meningkatnya kemampuan sektor tersebut dalam membayar utang.
Yunita menjelaskan berdasarkan hasil survei 2011 yang dilakukan BI terhadap 4.095 responden di 10 wilayah yang tersebar di seluruh Indonesia, terjadi jumlah pergeseran jumlah responden kategori pendatapan menengah ke kategori pendapatan rendah dan tinggi.
Dia mengatakan saat ini kategori masyarakat berpendapatan rendah kurang Rp20 juta setahun sebesar 22,1 persen, kelas pendapatan menengah antara Rp20 juta sampai Rp65 juta sebesar 60,9 persen dan pendapatan tinggi atau lebih Rp65 juta setahun.
"Dari jumlah responden tersebut 51,8 persen tidak memiliki simpanan di lembaga keuangan. Sedangkan yang memiliki simpanan sebesar 48,11 persen," kata Yunita.
Dia mengatakan dari sisi pinjaman, sebesar 54,9 persen responden belum memiliki pinjaman atau tidak meminjam ke bank. Sedangkan yang memiliki pinjaman sebesar 45,1 persen.
"Dari yang meminjam itu sebagian besar melakukan pinjaman di non lembaga keuangan yakni sebesar 24,37 persen, di bank 19 persen, dan lembaga keuangan non bank16,04 persen. Ini bisa menjadi potensi bagi perbankan Indonesia," kata dia.
Menurutnya, meskipun saat ini responden yang meminjam di lembaga keuangan masih lebih rendah dari pinjaman ke lembaga keuangan non bank, namun jumlahnya sudah meningkat sejak tahun lalu.
"Pada 2010 responden yang meminjam ke bank hanya 18,1 persen, saat ini meningkat menjadi 19 persen. Berdasarkan hasil survei, semakin tinggi pendapatan maka peluangnya untuk menabung dan meminjam ke bank umum semakin besar," kata dia.
Dia mengatakan pada 2011 persentase pinjaman rumah tangga yang digunakan untuk modal usaha yakni sebesar 29,51 persen, untuk konsumsi 19,95 persen, membeli kendaraan bermotor 18,51 persen, pendidikan 8,32 persen, membangun dan renovasi rumah 7,51 persen, membeli tanah atau rumah 3,5 persen, kesehatan 3,84 persen dan untuk kegunaan lain 8,88 persen.
"Apabila pembelian kendaraan dan renovasi serta pembangunan rumah dimasukkan dalam kategori konsumsi, maka persentase penggunaan utang konsumsi akan menjadi 38,49 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan untuk modal usaha," kata dia.
Meski begitu, menurut dia, saat ini total utang sektor rumah tangga dibandingkan dengan disposable income rumah tangga Indonesia masih menunjukkan angka yang aman.
"Rasionya saat ini menurun dari 19,53 persen pada 2010 menjadi 18,03 persen pada 2011, sehingga mencerminkan peningkatan kemampuan rumah tangga untuk membayar cicilan utang. Dibandingkan si Amerika Serikat pada saat terjadi krisis 'subprime mortgage' akhir 2007, adalah sebesar 127 persen dan 118 persen pada kuartal ketiga 2010," kata dia.
(SDP-47)