Warga Gunung Kidul jadikan tiwul menu Lebaran

id tiwul

Warga Gunung Kidul jadikan tiwul menu Lebaran

Makanan tradisional khas Gunung Kidul, tiwul (Foto ANTARA/Mamiek)

Gunung Kidul (Antara) - Warga Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang ada di pelosok desa menjadikan makanan khas tiwul sebagai sajian utama saat lebaran.

Tiwul adalah makanan tradisional dari Gunung Kidul yang terbuat dari olahan singkong. Makanan ini sangat unik, selain rasanya yang sangat khas, Tiwul ini juga bisa dijadikan sebagai makanan pengganti nasi. Makanan ini sudah terkenal sejak jaman dahulu dan menjadi salah satu warisan kuliner bagi masyarakat di Gunung Kidul.

"Tiwul menjadi sajian utama saat berkunjung dari rumah ke rumah di desa-desa," kata warga Gunung Kidul, Ristu di Gunung Kidul, Minggu.

Ia mengatakan warga menyajikan berbagai olahan tiwul, yakni tiwul ireng, tiwul cokelat, sego uleng. Lauk pendamping yang paling enak, yakni wader goreng, pecel dan gudeg. Saat makan, tidak menggunakan piring, melainkan daun jati dan daun pisang. Hal ini menambah nikmatnya makan tiwul.

"Kalau makan tiwul tidak ada wader goreng, pecel dan gudeg tidak lengkap. Rasa tiwul akan terasa lebih nikmat ketika menggunakan daun jati dan daun pisang. Rasanya ingin nambah dan nambah," kata dia.

Tiwul termasuk makanan yang sangat bersejarah karena sudah ada sejak jaman dahulu. Menurut sejarahnya, pada jaman penjajahan dulu makanan ini dijadikan makanan pokok bagi masyarakat dan dimakan bersama lauk pauk serta sayuran. Setelah jaman penjajahan, makanan ini masih tetap berfungsi sebagai makanan pokok apabila stok beras habis sebelum masa panen.

Warga Gunung Kidul lainnya, Martiyem mengatakan tiwul merupakan pokok utama warga. Seperti diketahui. Gunung Kidul, dulu dikenal sebagai daerah yang miskin, dan gersang, sehingga warganya banyak yang merantau mencari pekerjaan supaya hidup mereka lebih baik.

Sebagai daerah gersang, hanya dapat panen palawija, seperti jagung dan ketela. Masyarakat di Gunung Kidul menjadikan ketela yang dijadikan gaplek menjadi makanan utama. Gaplek dapat disimpan dalam waktu lama. Selain itu, dapat diolah sedikit demi sedikit sesuai kebutuhan sehari-hari.

Saat itu, masyarakat Gunung Kidul juga menjadikan jagung sebagai makanan pokok, setelah ketela. Untuk memperbaiki nasib, masyarakat Gunung Kidul merantau di kota-kota besar, baik menjadi wirausaha, buruh hingga pegawai.

"Dulu tidak mampu beli beras, kami hanya bisa masak tiwul. Ternyata, tiwul menjadi obat rindu pulang dari merantu," kata Martiyem.

Saat ini, makanan tiwul menjadi makanan yang mewah, selain harganya mahal, juga banyak diburu wisatawan. Masyarakat juga beralih mengkonsumsi beras untuk makanan utama.

Pada saat lebaran, tiwul menjadi suguhan yang mewah di setiap rumah, khususnya di wilayah pelosok.

"Saat pulang kampung, makan tiwul menjadi obat penghilang lelah dan mengobati rindu, serta menjadi penyemangat menjadi lebih baik," katanya.



Tiwul diburu pemudik

Pemudik yang pulang kampung berburu oleh-oleh tiwul di pusat oleh-oleh Jalan Wonosari-Baron Kabupaten Gunung Kidul. Pemudik memborong makanan khas wilayah ini. Meskipun sudah lama hidup merantau dan sukses meniti karier di berbagai kota, tetapi bagi sebagian besar warga Gunung Kidul tetap tidak bisa melupakan makanan khas berupa tiwul dan gatot. Ketika mereka mudik lebaran, maka dagangan tiwul dan gatot ikut diborong untuk menjadi salah satu oleh-oleh.

Salah satu warung yang khusus menyediakan tiwul dan gatot, pada warung Pak Lambang yang terletak di pinggir jalan besar Wonosari-Baron, tepatnya ?di Jalan Baron Km 4, Desa Karangrejek, Kecamatan Wonosari. Pada lebaran ini dipadati pembeli, terutama para pemudik untuk dibawa ke kota sebagai oleh-oleh.

Warung satu-satunya yang secara khusus menyediakan makanan khas Gunung Kidul ini pada pascalebaran ini setiap harinya dibanjiri pembeli. Dengan harga antara Rp12.000 hingga Rp15.000 ?untuk gatot maupun tiwul, pembeli sudah mendapat satu besek.

Pemilik toko tiwul Agus Lambang mengatakan pembuatan tiwul dan gatot yang menjadi dagangannya juga tidak terlalu sulit. Semua bahan baku dari Gunung Kidul.

Tiwul atau gatot yang dibuat juga disesuaikan pesanan konsumen, dengan rasa original tepung ketela dicampur gula jawa, rasa Nangka, rasa keju, rasa pandan, rasa kopi, dan coklat. Tiwul atau gatot yang dikemas dalam dus terbuat dari bok sesuai sekera pembeli, asin atau manis, selanjutnya diberi parutan kelapa.

Proses pemasakan yang sempurna dengan kayu bakar, dan tanpa pengawet hanya bisa bertahan satu hari dan jika dimasukkan kedalam kulkas bisa dua hari. Kalau hanya dibawa ke Jakarta atau luar jawa, bisa membawa tiwul dan gatot instan, karena kami tak menggunakan pengawet.

"Tiwul tidak akan pernah mati di hati masyarakat," kata Agus.

Agus mengatakan tiwul dibuat melalui beberapa proses. Dalam proses pembuatannya, singkong di kupas dan di jemur hingga kering. Singkong yang sudah kering tersebut oleh masyarakat Jawa biasa di sebut dengan gaplek. Gaplek ini kemudian ditumbuk hingga halus dan menjadi seperti tepung. Lalu tepung tersebut di kukus hingga matang dan menjadi tiwul. Dalam penyajiannya, biasanya tiwul di sajikan dengan ditaburi parutan kelapa. Namun bisa juga disajikan bersama dengan lauk pauk atau sambal.

Tiwul memiliki rasa yang sedikit manis dan memiliki aroma alami dari singkong, sehingga memiliki cita rasa yang khas pada makanan ini. Selain itu teksturnya yang pulen dan menggumpal memberikan sensasi tersendiri saat kita menyantapnya. Tiwul ini dipercaya sangat berguna bagi tubuh kita, karena mempunyai kandungan kalori yang lebih rendah dari pada nasi. Tiwul ini juga dapat mencegah penyakit seperti maag dan penyakit perut lainnya.



Tiwul menu rapat

Bupati Gunung Kidul Badingah mengatakan pihaknya sejak menjadi bupati mengintruksikan kepada seluruh jajaran organisasi perangkat daerah, menjadikan tiwul sebagai menu utama dalam rapat.

Tujuannya, yakni melestarikan makanan tradisional khas Gunung Kidul dan menggerakan ekonomi masyarakat.

"Masyarakat Gunung Kidul itu petani, salah satu hasil panen yakni ketela. Ketela ini bahan utama pembuatan tiwul. Dengan mengkonsumsi tiwul, artinya kita ikut menggerakan ekonomi petani," katanya.

Badingah mengatakan pihaknya juga telah mengintruksikan kepada pelaku wisata membantu mempromosikan makanan lokal khas Gunung Kidul, khusus tiwul kepada wisatawan. Sepanjamg jalur wisata, masyarakat menjual makanan lokal dari belalang sampai tiwul.

"Perkembangan wisata sebagai media promosi makanan lokal Gunung Kidul," katanya.

(KR-STR)