Tri Kusumo rangkul ODHA melalui Peradha

id Tri Kusumo,Puskesmas Gedongtengen,pelayanan ODHA,ODHA Yogyakarta

Tri Kusumo rangkul ODHA melalui Peradha

Dokter Tri Kusumo Bawono dari Puskesmas Gedongtengen Yogyakarta menginisiasi Peradha atau Pelayanan Ramah ODHA di puskesmas yang dipimpinnya. (ANTARA/Eka Arifa Rusqiyati)

Yogyakarta (ANTARA) - Kasus HIV/AIDS yang terus meningkat dan masih adanya stigma negatif hingga diskriminasi dari masyarakat terhadap orang dengan HIV/AIDS membuat Tri Kusumo Bawono, dokter yang bertugas di Puskesmas Gedontengen Yogyakarta, prihatin.

“Maaf jika saya mengatakan bahwa stigma dan diskriminasi terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) juga terkadang datang dari petugas pelayanan kesehatan,” kata Tri Kusumo Bawono di Yogyakarta, Senin.

Baginya, orang dengan HIV/AIDS tidak layak mendapatkan diskriminasi dari warga di sekitarnya, tetapi harus dirangkul agar bisa mendapatkan pelayanan kesehatan atau pengobatan yang baik sehingga kualitas hidup mereka pun meningkat.

Berbekal keinginan untuk memberikan layanan kesehatan yang lebih baik kepada ODHA, ia memberikan pelayanan yang sama terhadap semua pasien yang datang ke Puskesmas Gedongtengen, sekalipun pasien tersebut adalah ODHA.

Inovasi layanan di Puskesmas Gedongtengen dimulai sejak 2016, setelah puskesmas tersebut memiliki kewenangan untuk memberikan obat anti-retroviral atau ARV kepada pasien HIV/AIDS. Pelayanan tersebut kemudian terus dikembangkan hingga lahir inovasi pelayanan yang diberi nama Peradha, kependekan dari Pelayanan Ramah ODHA.

“Harapannya, penderita HIV/AIDS bisa mengakses layanan kesehatan dengan lebih nyaman di Puskesmas Gedongtengen. Tidak ada perbedaan pelayanan antara ODHA dengan pasien lain,” katanya.

Peradha kemudian mengantarkannya menjadi salah satu dokter dari Daerah Istimewa Yogyakarta yang maju dalam ajang Tenaga Kesehatan Teladan Puskesmas tingkat nasional untuk kategori dokter tahun ini.

Ia mengatakan, sejak layanan diluncurkan pertama kali pada 2016, jumlah pasien HIV/AIDS yang mengakses dan memperoleh ARV tercatat 59 pasien.

Jumlah pasien terus meningkat menjadi 261 pasien pada 2017, dan naik menjadi 322 pasien pada 2018. “Hingga saat ini, jumlah pasien yang mengakses secara aktif mencapai 320 orang,” katanya.

Meningkatnya jumlah pasien HIV/AIDS yang berobat di Puskesmas Gedongtengen tidak terlepas dari berbagai upaya yang dilakukan Tri Kusumo, di antaranya bekerja sama dengan berbagai pihak seperti LSM yang bergerak di bidang kesehatan, sosialisasi ke tempat spa atau pijat plus, hingga berkoordinasi dengan kepolisian dan lembaga pemasyarakatan.

“Untuk ODHA yang tersangkut kasus hukum, biasanya kesulitan untuk mengakses ARV. Padahal, obat tersebut harus diminum rutin dan tidak terputus. Kami memberikan layanan pemberian obat kepada pasien yang tersangkut kasus hukum,” kata Tri.

Menurut Tri, pelayanan kesehatan kepada pasien dengan HIV/AIDS harus dilakukan dengan pendekatan yang terbuka, yaitu bicara dengan bahasa yang jujur sesuai dengan kondisi tiap pasien.

“Ada beberapa kondisi yang membuat kami, para dokter, terkadang harus berbicara dengan gaya bahasa yang vulgar. Misalnya saat melakukan pendekatan kepada kelompok pekerja seksual agar mau memeriksakan kesehatan mereka di puskesmas,” kata Tri, yang bersyukur memiliki tim yang kompak dalam memberikan pelayanan Peradha.

Ia pun tidak mempermasalahkan berbagai julukan yang melekat kepadanya karena bergaul dengan ODHA sebagaimana berinteraksi dengan warga lain yang sehat.

“Memberikan pelayanan terbaik kepada ODHA membuat saya merasa senang. Ada kepuasan batin karena bisa membantu pasien yang biasanya terdiskriminasi. Saya merasa bisa membantu orang yang membutuhkan,” kata Tri, yang merasa tidak takut atau risih harus berdekatan dengan ODHA.

Ia berharap, usahanya dengan memberikan pelayanan kesehatan yang ramah terhadap penderita HIV/AIDS setidaknya mampu memberikan sedikit kebahagiaan kepada pasien.

“Apa yang terjadi pada penderita HIV/AIDS, bisa saja menimpa orang yang paling dekat dengan kita. Saya pun tidak ingin hal itu terjadi. Tetapi, jika hal itu terjadi maka saya pun tidak ingin ada diskriminasi,” katanya.

Sepanjang 2019, di Puskesmas Gedongtengen sudah ada 70 temuan kasus HIV baru. Biasanya, dalam setahun terdapat 100 temuan kasus HIV baru di puskesmas tersebut.

“Kasus HIV/AIDS paling banyak justru dialami ibu rumah tangga, baru kemudian heteroseksual, homo seksual dan pekerja seks komersil,” katanya.

Pengalaman hidup setiap pasien HIV/AIDS yang datang ke puskesmas, bagi Tri juga menjadi sebuah pembelajaran dalam hidup yang tidak akan pernah diperoleh melalui pendidikan formal.

“Ada banyak kisah, ada banyak cerita dari setiap pasien. Yang pasti, kita tidak bisa menilai orang dari luarnya saja. Ini yang membuat saya merasa bahagia karena bisa membantu mereka. Pengalaman yang mereka ceritakan, memperkaya kehidupan saya,” katanya.

Karena membeludaknya pasien HIV/AIDS di Puskesmas Gedongtengen, Tri menyebut, kualitas pelayanan sempat sedikit menurun, salah satunya karena pasien harus mengantre dalam waktu yang lama untuk memperoleh layanan kesehatan meskipun layanan di puskesmas sudah dibuka setiap hari, bahkan pada Minggu.

“Sebenarnya, selain di Gedongtengen, layanan ARV juga bisa diperoleh di puskesmas lain yaitu di Umbulharjo I, Mantrijeron, dan Tegalrejo. Saya pun berharap, inovasi layanan Peradha ini bisa diduplikasi di puskesmas lain,” katanya.

Kepala Seksi Pengembangan Kapasitas SDM Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta Murtiari mengatakan, ajang pemilihan tenaga kesehatan teladan digelar rutin tiap tahun.

“Dokter Tri ini terpilih sebagai tenaga kesehatan teladan puskesmas untuk tingkat Kota Yogyakarta pada 2018, kemudian maju ke tingkat DIY dan terpilih maju ke tingkat nasional pada tahun ini untuk mengikuti seleksi pada 8-14 November,” katanya.

Murtiari mengatakan, terdapat sembilan kategori pada ajang tenaga kesehatan teladan. Namun di Kota Yogyakarta penilaian hanya dilakukan untuk lima kategori sesuai dengan kondisi wilayah.

Selain Tri Kusumo, dalam beberapa tahun terakhir ada wakil dari Kota Yogyakarta yang maju di ajang serupa di tingkat nasional pada 2014 dan 2017, namun bukan dari profesi dokter melainkan dari perawat.

“Tentunya, kami berharap agar inovasi di Puskesmas Gedongtengen ini bisa direplikasi dan diterapkan di puskesmas lain. Pelayanan di puskesmas memang harus ramah untuk semua pasien,” kata Murtiari.

 

Pewarta :
Editor: Herry Soebanto
COPYRIGHT © ANTARA 2024