Psikolog UGM meminta sekolah fasilitasi siswa terkait hobi lato-lato
Yogyakarta (ANTARA) - Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Prof Koentjoro meminta sekolah memfasilitasi siswa terkait hobi bermain lato-lato secara aman.
"Bukan sekadar melarang karena berbahaya atau membiarkan saja," kata Koentjoro melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Selasa.
Menurut Guru Besar Fakultas Psikologi UGM itu, alih-alih melarang, sekolah justru bisa menjadi fasilitator bagi anak dalam menyalurkan hobi bermain lato-lato, misalnya dengan menyelenggarakan lomba lato-lato.
Cara itu, menurut dia, tidak hanya sebagai sarana menampung hobi anak, tetapi juga mengajarkan bagaimana bermain secara jujur dan sportif.
Sekolah, kata dia, juga memiliki peran untuk memberikan pengertian pada siswa terkait aturan dan cara bermain lato-lato yang aman dan tidak mengganggu lingkungan.
"Anak-anak diingatkan bahaya lato-lato bagi diri sendiri dan orang lain serta kapan bisa bermain biar peka terhadap lingkungan," kata dia.
Menurut Koentjoro, permainan lato-lato sejatinya memiliki sisi positif yakni mengurangi ketergantungan anak pada gawai.
"Segi positifnya ketergantungan anak pada handphone jadi berkurang. Dulunya waktu untuk main handphone sekarang ke lato-lato," kata dia.
Selain itu, menurut Koentjoro, melalui permainan lato-lato anak-anak dapat berlatih konsentrasi, ketangkasan fisik, kepercayaan diri, sosialisasi, dan lainnya.
"Lato-lato ini bisa menjadi sarana anak berolahraga, belajar konsentrasi secara murah," kata dia.
Menurut Koentjoro, peran orang tua juga krusial dalam memberikan pemahaman kepada anak-anak terkait cara, aturan, hingga bahaya dari setiap permainan yang dimainkan termasuk lato-lato.
"Peran orang tua harus ada, bermain dengan aman harus diajarkan kepada anak. Aturan kapan main juga dijelaskan seperti saat memakai handphone, agar tidak mengganggu lingkungan," kata dia.
"Bukan sekadar melarang karena berbahaya atau membiarkan saja," kata Koentjoro melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Selasa.
Menurut Guru Besar Fakultas Psikologi UGM itu, alih-alih melarang, sekolah justru bisa menjadi fasilitator bagi anak dalam menyalurkan hobi bermain lato-lato, misalnya dengan menyelenggarakan lomba lato-lato.
Cara itu, menurut dia, tidak hanya sebagai sarana menampung hobi anak, tetapi juga mengajarkan bagaimana bermain secara jujur dan sportif.
Sekolah, kata dia, juga memiliki peran untuk memberikan pengertian pada siswa terkait aturan dan cara bermain lato-lato yang aman dan tidak mengganggu lingkungan.
"Anak-anak diingatkan bahaya lato-lato bagi diri sendiri dan orang lain serta kapan bisa bermain biar peka terhadap lingkungan," kata dia.
Menurut Koentjoro, permainan lato-lato sejatinya memiliki sisi positif yakni mengurangi ketergantungan anak pada gawai.
"Segi positifnya ketergantungan anak pada handphone jadi berkurang. Dulunya waktu untuk main handphone sekarang ke lato-lato," kata dia.
Selain itu, menurut Koentjoro, melalui permainan lato-lato anak-anak dapat berlatih konsentrasi, ketangkasan fisik, kepercayaan diri, sosialisasi, dan lainnya.
"Lato-lato ini bisa menjadi sarana anak berolahraga, belajar konsentrasi secara murah," kata dia.
Menurut Koentjoro, peran orang tua juga krusial dalam memberikan pemahaman kepada anak-anak terkait cara, aturan, hingga bahaya dari setiap permainan yang dimainkan termasuk lato-lato.
"Peran orang tua harus ada, bermain dengan aman harus diajarkan kepada anak. Aturan kapan main juga dijelaskan seperti saat memakai handphone, agar tidak mengganggu lingkungan," kata dia.