Jakarta (ANTARA) - Berselang sembilan tahun sejak dirilisnya "Inside Out" yang pertama, kali ini di film sekuelnya, Disney dan Pixar mengajak penonton untuk menyelami benak Riley yang mulai beranjak remaja.
Jika di film pertama Riley mencoba melalui masa kanak-kanak dengan mengatur emosinya perkara kepindahan keluarganya dari kehidupan Minnesota ke San Fransisco, kini Riley telah menemukan rumah baru, yakni sahabat-sahabat barunya yang bernama Bree dan Grace.
Para emosi yang digambarkan sebagai sosok-sosok warna-warni lucu menggemaskan bekerja akur saling berdampingan di Headquarters. Mereka adalah Joy si emosi bahagia yang sudah berdamai dengan emosi kesedihan, Sadness. Bahkan Joy sudah dengan luwes merangkul Sadness dalam beberapa keputusannya karena paham bahwa kesedihan adalah bagian penting yang membentuk diri Riley.
Para emosi yang lain yakni Fear, Disgust, dan Anger juga masih tetap ada untuk membantu Riley melalui hari-harinya. Dalam film dikisahkan masa kanak-kanak Riley tampaknya bisa dilalui dengan lancar. Semuanya ada di porsi yang tepat sehingga Riley tumbuh menjadi sosok yang anak pintar, periang, baik hati, setia kawan, humoris, dan yang utama dia adalah jagoan di tim Hockey.
Lantas suatu malam gejolak hormon mendadak muncul di tubuh Riley yang mulai menginjak usia 13 tahun saat musim panas tiba.
Headquarters kocar-kacir seiring dengan adanya perombakan mendadak untuk memberi ruang bagi para emosi baru Riley yakni: Anxiety, Embarrassment, Ennui, Envy, dan beberapa kali kemunculan nostalgia. Tombol pubertas menyala, semua porak-poranda.
Dari sana, Riley memulai perjalanan menavigasi emosi nan penuh intrik di masa remaja. Pubertas, masa transisi dari kanak-kanak ke dewasa muda adalah fase penting dalam setiap individu karena munculnya emosi-emosi baru yang seperti mengendarai kereta luncur di mana emosi kanak-kanak sedikit demi sedikit mulai tergantikan oleh emosi dewasa.
Kebahagiaan seringkali tergantikan oleh kepanikan karena kebutuhan menyusun strategi masa depan, ketakutan yang sering ditutupi oleh kebosanan yang akhirnya luput jadi sarkasme untuk menutupi rasa malu.
Individu akan mulai merasa butuh mendekatkan diri dengan orang seusianya hingga kemampuan mengenali seksualitasnya. Hal-hal tersebut seringkali menimbulkan rasa tak menentu yang berlebihan jika tak dinavigasi dengan baik.
Sayangnya, para orang tua sering tidak paham dengan gejolak rasa gelisah itu dan menghindari membicarakannya.
Akibatnya, ada kemungkinan anak yang mencapai pubertas tidak siap untuk perasaan yang menyertainya. Seringkali, mereka berpura-pura kuat atau mereka justru menjadi kewalahan dan menutup diri secara emosional.
Sang sutradara "Inside Out 2" yakni Kelsey Mann dengan apik menggambarkan perubahan fisik pada anak yang mengalami pubertas mulai dari jerawat hingga "growth spurt" yang membuat Riley jadi lebih tinggi dalam semalam. Sementara secara emosi, Riley mengalami mood swing parah yang membuatnya jadi menyebalkan bagi orang-orang di sekitarnya, mulai dari sahabatnya, orang tua, pelatih hockey bahkan calon kakak kelasnya.
Kawah candradimuka Riley digambarkan Mann sebagai sebuah kamp keterampilan hoki akhir pekan di mana dia sangat ingin dipilih untuk masuk sebuah tim, ini sama seperti pubertas datang mengetuk tiba-tiba; mengenalkan sekumpulan emosi baru yang lebih kompleks yang dipimpin oleh Anxiety (Maya Hawke), dengan Envy (Ayo Edebiri), Embarrasement (Paul Walter Hauser), dan Ennui (Adèle Exarchopoulos) bersekongkol.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Jumpalitan dunia Riley saat beranjak remaja di "Inside Out 2"