Posisi Indonesia
Pertanyaannya, bagaimana dengan Indonesia? Posisi perdagangan Indonesia dengan China dan Amerika cukup jelas.
Setiap tahun negeri ini mengimpor sejumlah besar produk dari China, yang mengakibatkan defisit perdagangan sampai tingkat tertentu. Sementara itu ekspor Indonesia ke Amerika justru terus mempertahankan surplus perdagangan.
Artinya, kehilangan akses ke pasar AS akan berdampak langsung pada keseimbangan neraca pembayaran dan stabilitas industri ekspor.
Sebaliknya, gangguan pasokan dari China memang menyulitkan, tapi bisa disubstitusi dengan importasi dari negara lain.
Tidak mudah memang, tapi tetap mungkin. Logika sederhana ini sebenarnya mengarah pada satu kesimpulan, dalam jangka panjang, pembeli memiliki kekuatan negosiasi yang lebih besar dibandingkan penjual, apalagi jika barang yang dijual adalah barang substitusi tinggi, seperti tekstil, elektronik murah, atau produk konsumen cepat pakai.
China adalah “pabrik dunia”, tapi bukan satu-satunya pemasok. Dan justru karena kelebihan kapasitas produksinya, ia tidak mampu menjadi pembeli utama bagi negara-negara, seperti Indonesia.
Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan, bahkan menilai tarif resiprokal Amerika Serikat terhadap Indonesia tidak sepenuhnya negatif.
DEN melihat adanya resiprokal tarif dari Amerika ini sepenuhnya tidak negatif. Repositioning perdagangan global yang bisa menjadi peluang Indonesia untuk menarik investasi dari luar negeri, menjadikan Indonesia sebagai basis produksinya.
Itulah mengapa gejolak ini seharusnya dilihat sebagai peluang. Karena ketika dunia merombak ulang rantai pasok global dan investor mencari lokasi baru yang lebih stabil, Indonesia justru memiliki sejumlah keunggulan yang tidak bisa diabaikan.
Atribut netral secara geopolitik, biaya tenaga kerja yang kompetitif, dan peran aktif dalam berbagai kerja sama regional menjadikan Indonesia bukan hanya pelengkap, tapi kandidat utama sebagai simpul baru dalam jaringan industri dunia.
Kapital, pada akhirnya, selalu mencari tempat bertumbuh. Dan ketika ruang pertumbuhan menyempit di Tiongkok akibat tekanan eksternal dan stagnasi domestik, modal akan mencari pelabuhan baru dan Indonesia cenderung memiliki segalanya untuk menjadi tempat berlabuh.
Tanda-tanda bahwa modal global mulai menoleh ke arah Indonesia sudah terlihat jelas. Di saat pasar saham Jepang dan Hong Kong mengalami koreksi lebih dari 20 persen dalam waktu singkat, dan Korea Selatan mengalami penurunan tajam, pasar di Indonesia justru menunjukkan ketahanan yang mencolok.
Penurunan tetap terjadi, tapi tidak sedalam negara-negara besar lain. Ini bukan kebetulan. Ini adalah refleksi dari keyakinan kapital bahwa Asia Tenggara, dan negeri ini secara spesifik, adalah kawasan kunci berikutnya yang memiliki nilai investasi sistemik.
Dalam konteks ini, penurunan pasar justru menjadi pintu masuk bagi modal untuk masuk lebih dalam, menanamkan fondasi untuk pertumbuhan jangka panjang.
Baca juga: IHSG Kamis dibuka melesat 302,62 poin, usai Trump tunda tarif
