Peneliti sebut teror Abu Rara indikasikan daya rusak teroris mulai menurun

id najib azca,teroris,abu rara

Peneliti sebut teror Abu Rara indikasikan daya rusak teroris mulai menurun

Kepala Pusat Studi Keamanan dan Pertahanan (PSKP) Universitas Gadjah Mada Najib Azca menanggapi teror penusukan Menkopolhukam Wiranto. ANTARA/Luqman Hakim

Yogyakarta (ANTARA) - Kepala Pusat Studi Keamanan dan Pertahanan (PSKP) Universitas Gadjah Mada Najib Azca menilai aksi teror dilakukan SA alias Abu Rara yang menimpa Menkopolhukam Wiranto menunjukkan bahwa daya destruksi atau daya rusak para teroris di Indonesia mulai menurun.

"Ini refleksi bahwa daya penghancuran atau daya kemampuan destruksi dari kelompok teroris berkurang dibandingkan yang dulu," kata Najib, di Yogyakarta, Senin.


Menurut dia, penggunaan benda tajam untuk melukai langsung target korban berbeda dengan pola yang digunakan oleh kelompok jihadis sebelumnya, khususnya Jamaah Islamiyah (JI). JI lebih dikenal dengan aksi teror yang berimbas kerusakan atau korban yang besar seperti bom Bali pada 2002 atau bom Hotel JW Marriot pada 2003.

Anggota JI, menurut dia, memiliki karakteristik operasi yang terlatih. Mereka mendapatkan pelatihan paramiliter di Afghanistan atau Mindanao, Filipina.

Sementara banyak teroris belakangan ini terafiliasi ke Jamaah Ansorut Daulah (JAD) yang pro-ISIS tidak terlatih secara kemiliteran. Aksi teror mereka tidak tertata. Pelakunya justru lebih banyak yang meninggal dibanding korban yang ingin diciptakan.

"Kelompok-kelompok yang belakangan beraksi di sini hanya orang-orang yang terasuki oleh virus jihadisme. Pokoknya yang penting mati, bahkan korbannya siapa tidak jelas pun enggak apa-apa," kata Najib.


Kendati demikian, lanjut dia, kewaspadaan terhadap aksi-aksi teror JAD yang tak terduga itu tak boleh berkurang. Apalagi, seperti yang pernah diungkap Kapolri, mereka memang menargetkan sejumlah pejabat tinggi di Indonesia atau orang-orang yang dianggap memusuhi Islam setelah pembubaran HTI.

Penangkapan terhadap terduga teroris, kata dia, juga tidak mudah karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, harus memiliki bukti permulaan yang cukup.

"Usaha pemantauan kelompok atau orang-orang yang berempati kepada gerakan terorisme itu juga tidak mudah dan membutuhkan kerja keras dari intelijen," kata dia pula.