Jakarta (ANTARA) - Ahli hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar, Dr Fahri Bachmid SH MH, mempertanyakan kerugian kontitusional dua mahasiswa yang menguji aturan wajib menyalakan lampu motor siang hari ke Mahkamah Kontitusi.
Dua mahasiswa UKI, Eliadi Hulu dan Ruben Saputra Hasiholan Nababan, menguji berlakunya UU Nomor 22/2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terkait aturan wajib menyalakan lampu bagi motor di siang hari ke MK.
"Apakah mereka mengalami kerugian konstitusional dari berlakunya UU Nomor 22/2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan," tanya Bachmid, dalam keterangan tertulis yang diterima, Minggu.
Ia juga yakin MK akan menolak permohonan pengujian UU LLAJ yang diajukan dua mahasiswa UKI tersebut.
Argumentasi yuridis Bachmid didasarkan pada dalil dan kedudukan hukum yang dikemukakan dua mahasiswa tersebut yang membandingkan dengan kasus Presiden Joko Widodo mengendarai sepeda motor Kawasaki W175 berkelir hijau pada siang hari tanpa menyalakan lampu di Pasar Anyar, Tangerang, Banten, pada 4 November 2018.
"Presiden Jokowi mengendarai motor telah sejalan dengan norma hukum yang diatur dalam UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan," kata Bachmid.
Ia juga mempertanyakan dalil yang dikemukakan oleh mahasiswa UKI dengan mengajukan peninjauan hukum ke MK itu sudah tepat dan apakah mereka mempunyai kedudukan hukum untuk ajukan perkara ini.
Namun dia tetap menghormati langkah yang diambil dua mahasiswa UKI yang menggugat UU LLAJ ke MK itu.
Menurut Bachmid, langkah serta opsi ajudikasi yang diambil mahasiswa UKI ke MK harus dipandang sebagai penggunaan hak konstitusional warga negara yang mempersoalkan konstitusionalitas sebuah norma, pasal, ayat dan bagian tertentu dari UU yang berlaku
"Dan konstitusi memberikan jaminan untuk itu dan wajib dihormati sebagai wujud konsekwensi sebuah negara hukum (supremasi konstitusi)," kata dia.
Ia mengatakan sangat sulit untuk dapat mengkualifisir bahwa mahasiswa UKI itu mempunyai kepentingan serta kerugian konstitusional baik langsung maupun potensial terhadap berlakunya norma UU itu.
Apalagi, lanjut dia, dalil permohonan mereka telah masuk pada kasus kongkrit, yaitu Jokowi yang mengendarai sepeda motor tanpa menyalakan lampu pada siang hari.
"Ini adalah bukan persoalan konstitusionalitas penerapan sebuah norma UU, tetapi lebih pada kasus kongkrit, sehingga secara teoritik maupun konstitusional sangat sulit jika MK akan mengabulkan permohonan seperti itu," kata Bachmid.
Berdasarkan konstruksi hukum sesuai UU Nomor 24/2003 tentang MK sebagaimana telah dirubah dengan UU Nomor 8/2011 Tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 24/2003 Tentang MK, Bachmid menyebutkan bahwa apa yang mahasiswa UKI itu ajukan atau ujikan adalah norma UU.
Sementara sifat putusan MK adalah ergo omnes, maka dari itu, dia menilai yang dipersoalkan mahasiswa UKI adalah norma hukum, bukan presiden dalam tindakannya.
Ia menyebut tidak ada yang keliru dengan presiden mengendarai sepeda motor tanpa menggunakan lampu, sebab di dalam UU Nomor 22/2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan telah mengatur secara komprehensif berbagai hal, bahkan sampai pada norma pengecualian dalam keadaan atau hal tertentu, termasuk pengguna jalan lalu lintas yang mendapat prioritas, termasuk kepala negara.
Dia menjelaskan bahwa sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 134 huruf d dan g, yang menyebutkan bahwa “Pengguna jalan yang memperoleh hak utama untuk didahulukan sesuai dengan urutan berikut:
d. Kendaraan pimpinan lembaga negara republik Indonesia;
g. Konvoi dan/atau kenderaan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas kepolisian negara republik Indonesia serta dalam ketentuan pasal 135 ayat (1).
Hal ini yang menyebutkan bahwa, “Kendaraan yang mendapat hak utama sebagaimana dimaksud dalam pasal 134 harus dikawal oleh petugas kepolisian negara republik Indonesia dan/atau menggunakan isyarat lampu merah atau biru fan bunyi sirene. Bahwa dengan demikian, maka dari sisi peraturan perundang-undangan, maka tidak ada pelanggaran hukum atas apa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi."
Sementara dari segi materil, berdasarkan teori perundang-undangan maka, menurut Bachmid, sesungguhnya apa yang telah diatur dalam UU Nomor 22/2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, hal tersebut bersifat kebijakan hukum terbuka.
Dan hal itu tentunya merupakan otoritas pembentuk UU untuk mengatur segala sesuatu, dan bukan persoalan konstitusionalitas sebuah norma hukum, dan atas hal itu, mahkamah telah mempunyai pendirian tetap vaste jurisprudentie untuk tidak akan masuk pada ranah pembentuk undang-undang.
Menurut Fahri Bachmid, norma pengaturan yang diatur dalam UU Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesungguhnya merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk UU.
Dengan demikian, dia menegaskan, dari segi hukum tata negara, tidak ada persoalan konstitusionalitas atas permasalahan itu.