Volkanolog ITB menjelaskan tipe erupsi Gunung Merapi

id Volkanolog ITB, erupsi Gunung Merapi, Gunung Merapi

Volkanolog ITB menjelaskan tipe erupsi Gunung Merapi

Volkanolog ITB Dr Mirzam Abdurrachman. ANTARA/HO-Humas ITB

Bandung (ANTARA) - Volkanolog Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr Eng Mirzam Abdurrachman, ST MT menjelaskan, Gunung Merapi, Indonesia merupakan salah satu gunung aktif di dunia selain Sakurajima di Jepang dan Mauna Loa di Hawai.

Mirza dalam siaran pers Humas ITB, Kamis, mengatakan setiap tahunnya, ketiga gunung tersebut sering terjadi erupsi. Gunung Merapi juga memiliki periode letusan pendek setiap empat tahunan dan jangka panjang setiap 10-15 tahun sekali.

Namun hal tersebut tidak perlu menjadi kekhawatiran bagi penduduk sekitar dengan cara mengetahui self mitigation yang baik.

Menurut laporan dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian ESDM RI, erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta pada Selasa (3/3) lalu sekitar pukul 05.22 WIB. tersebut melontarkan abu vulkanik setinggi 6000 meter dan tercatat oleh seismogram dengan amplitudo 75 mm dan durasi 450 detik.

Dosen Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB tersebut menjelaskan, dalam melihat gunung api ada yang disebut sebagai Volcanic Explosivity Index (VEI). VEI memiliki rentang nilai dari 0-8.

Semua gunung api yang memiliki rentang nilai tersebut ada di Indonesia, dengan rekor tertinggi atau skala 8 dimiliki oleh Toba.

“Merapi ini memiliki nilai VEI-3, artinya berada di posisi tengah atau termasuk gunung eksplosif, yang terjadi kemarin adalah letusan eksplosif yang merupakan tipikal dari letusan Gunung Merapi” ujarnya.

Mirzam menjelaskan, VEI sendiri berfungsi untuk mengukur derajat suatu letusan gunung api. Cara menghitungnya cukup sederhana yaitu berapa volume yang dikeluarkan atau secara visual bisa diamati dengan melihat berapa tinggi kolom erupsinya.

"Melalui kejadian erupsi Gunung Merapi, masyarakat sebetulnya bisa mengetahui berdasarkan data yang ada bahwa ketinggian kolom 6.000 meter itu berada dalam skala VEI-3," ujarnya.

Dia menambahkan, interval waktu letusan gunung yang berada dalam VEI-3 adalah biasanya erupsi tiga kali per tahun.

Menurut Dr. Mirzam, jika membandingkan dengan letusan Gunung Merapi pada 2018, sebelumnya gunung tersebut erupsi dengan ketinggian kolom yaitu 5.500 meter.

Jika melihat sekilas, tentu ada peningkatan energi dengan tahun 2020 namun peningkatan tersebut bisa diartikan dua hal, menunjukkan bahwa Gunung Merapi aktivitasnya akan berangsur naik, atau sebaliknya berangsur turun.

Untuk mengetahui ini, pemantauan secara komprehensif beberapa parameter seperti seismisitas, perubahan ukuran tubuh gunung api, pendeteksian jenis gas yang dilepaskan dan juga perubahan temperature akan memberikan jawaban yang lebih pasti.

Belajar Harmoni

PVMBG telah melakukan monitoring yang sangat baik sekali terkait aktifitas gunung api di Indonesia.

Akan tetapi, menurut Mirzam, masyarakat juga perlu mengetahui self mitigation dengan melihat fenomena yang terjadi di gunung api.

Ia menjelaskan, bahaya dari gunung api sendiri terbagi ke dalam dua kelompok, pertama adalah bahaya primer, yaitu bahaya yang terjadi bersamaan saat gunung tersebut meletus, contohnya adalah letusan merapai yang baru terjadi kemarin berupa munculnya abu vulkanik, sehingga bisa menyebabkan gangguan kesehatan dan gangguan pandangan.

Kedua adalah bahaya sekunder, yaitu bahaya yang terjadi setelah erupsinya berakhir, seperti munculnya lahar dingin.

“Terkadang orang lupa ketika letusan sudah berakhir, abu vulkanik yang mengendap di lereng, dan bercampur dengan air akan terkirim bersama, atau dikenal dengan lahar dingin atau lahar hujan," katanya.

Ia menilai, bahaya kedua lahar itu sama, akan tetapi lahar panas atau lahar erupsi yang terjadi akibat gunung api yang memiliki danau kawah bisa diantisipasi, sementara lahar dingin kurang bisa diantisipasi.

"Istilah lahar dingin ini awalnya memang dikenal dari Gunung Merapi kemudian banyak diterapkan di gunung-gunung api di dunia,” katanya.

Lebih lanjut, Mirzam mengatakan, letusan gunung api dapat diprediksi melalui prediksi jangka pendek dan prediksi jangka panjang.

Prediksi jangka pendek dengan cara melihat aktivitas gunung api seperti seismicity, ground deformation hidrologi, dan kandungan gas.

Prediksi jangka panjang dapat diketahui dengan cara melihat periode letusan suatu gunung. Prediksi jangan panjang ini dapat dilakukan dengan menghubungkan data setiap waktu letusan dengan volume yang dikeluarkan.

Prediksi inilah yang bisa meminimalisir risiko dampak dari letusan gunung api, baik korban jiwa maupun materi.

Dia menjelaskan, di dalam ilmu volkanologi, ada dua klasifikasi sederhana erupsi gunung api. Pertama adalah effusive eruption dan kedua explosive eruption.

Effusive eruption dilihat dari dominasi lava yang keluar, sementara explosive eruption dilihat dari dominasi abu vulkanik yang muncul.

Letusan Gunung Merapi kemarin termasuk kategori explosive eruption.

“Dalam explosive eruption, ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu melihat komponen yang ada di dalam abu vulkanik," katanya.

Ia menjelaskan, ketika di dalam abu vulkanik banyak dipenuhi batu berarti sedang tahap pembukaan sumbat lava, ketika sudah banyak batu apung berarti sudah memasuki tahap utama, ketika hanya abu vulkanik berarti sudah tahap akhir.

"Dengan mengetahui hal sederhana tersebut, masyarakat diharapkan bisa mengukur sendiri pada tahap mana dalam suatu letusan ekslposif,” ujarnya.

Ia mengatakan, saat ini Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) dengan Prodi Geologi ITB sedang melakukan riset ke daerah-daerah terdampak letusan Gunung Merapi untuk dijadikan daerah wisata edukasi.

“Gunung Merapi adalah salah satu gunung api aktif yang ada di Indonesia yang bisa dijadikan contoh pembelajaran bagi masyarakat, kita tidak bisa memindahkan gunung, tapi kita bisa hidup harmoni dengan gunung,” kata dia.


Pewarta :
Editor: Victorianus Sat Pranyoto
COPYRIGHT © ANTARA 2024