EBT penyangga ketahanan energi nasional
Jakarta (ANTARA) - Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) akan menjadi prioritas utama pemerintah untuk menopang ketahanan energi nasional dan menekan laju emisi dalam jangka panjang.
"Untuk menekan laju emisi, pemerintah telah menyusun peta jalan transisi energi menuju net zero emission (NZE), dengan strategi antara lain pengembangan utama EBT secara masif, mendorong penggunaan kendaraan listrik, pengembangan interkoneksi transmisi, dan smart grid," katanya pada acara seminar nasional bertajuk "Sustaining Indonesia Energy Security and Accomplishing Net Zero Emission (NZE) Through Petroleum Engineering Technology & Education", Sabtu (27/11/2021).
Dalam rilisnya di Jakarta, Minggu, Menteri Arifin mengatakan konsumsi energi dari EBT akan terus melonjak dalam beberapa dekade ke depan.
Proyeksi tersebut membuka ruang bagi pemerintah dalam mengembangkan EBT sebagai prioritas utama guna meningkatkan ketahanan energi nasional jangka panjang, sekaligus selaras dengan komitmen dunia dalam menekan laju pertumbuhan emisi gas rumah kaca.
Hal senada disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam seminar tersebut. Ia menyampaikan pentingnya menjaga pertumbuhan ekonomi berbasis pembangunan rendah karbon.
"Pertumbuhan ekonomi perlu dijaga dan hal ini menjadi momentum untuk melakukan transisi ekonomi hijau dengan memprioritaskan pembangunan rendah karbon yang inklusif dan berkeadilan," ungkapnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto menguraikan adanya penguatan indeks ketahanan energi nasional dari tahun ke tahun.
Saat ini, indeks ketahanan energi nasional berada di angka 6,57 atau masuk kondisi tahan yang berkisar antara 6-7,99.
"Kenapa kita belum mencapai kategori sangat tahan? Sebab dua aspek ini yaitu accessibility dan acceptability masih kurang, meskipun pemerintah telah membangun infrastruktur gas, program BBM satu harga, membangun SPBU kecil di daerah 3T. Sedangkan, untuk aspek acceptability, terkait dengan lingkungan," katanya.
Menyangkut acceptability ini, Djoko menyampaikan pengembangan EBT di Indonesia pada 2020 telah mencapai 11,2 persen atau meningkat dibandingkan 2015 yang hanya empat persen.
"Kita menuju 23 persen di 2025. Artinya, kalau kita melakukan business as usual, mudah-mudahan ini bisa tercapai dan di 2050 sudah 31 persen, kemudian di 2060 di mana kita punya target net zero emission, mudah-mudahan EBT sudah di atas 50 persen," harapnya.
Pengukuran ketahanan energi menggunakan aspek 4A yakkni availability, affordability, accessibility, dan acceptability, serta metode pembobotan menggunakan AHP atau analisa hierarchy process.
Aspek availability adalah ketersediaan sumber energi dan energi baik dari domestik maupun luar negeri. Selanjutnya, affordability yaitu keterjangkauan biaya investasi energi, mulai dari biaya eksplorasi, produksi dan distribusi, hingga keterjangkauan konsumen terhadap harga energi.
Kemudian, aspek accesibility adalah kemampuan untuk mengakses sumber energi, infrastruktur jaringan energi, termasuk tantangan geografis dan geopolitik.
Sedangkan, aspek acceptability adalah penggunaan energi yang peduli lingkungan baik darat, laut dan udara, termasuk penerimaan masyarakat.
Dukungan transisi energi, sambung Djoko, secara umum dapat dilakukan melalui regulasi harga gas sebesar enam dolar AS/MMBTU, Rancangan Undang-Undang tentang EBT, dan Rancangan Peraturan Presiden tentang Harga EBT.
Tak hanya itu, terdapat beberapa dukungan lain dari pemerintah, seperti penyusunan Rancangan Perpres Cadangan Penyangga Energi, zero flaring gas, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN 2021-2030, dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap.
Di sisi lain, Rektor ITB Reini Wirahadikusumah menjelaskan Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai target NZE pada 2060 atau lebih cepat, yang salah satunya dengan pengembangan pengetahuan mengenai carbon capture and storage (CCS) dan carbon capture, utilization, and storage (CCUS), yang dapat berkontribusi dalam tujuan pencapaian NZE tersebut.
"Untuk menekan laju emisi, pemerintah telah menyusun peta jalan transisi energi menuju net zero emission (NZE), dengan strategi antara lain pengembangan utama EBT secara masif, mendorong penggunaan kendaraan listrik, pengembangan interkoneksi transmisi, dan smart grid," katanya pada acara seminar nasional bertajuk "Sustaining Indonesia Energy Security and Accomplishing Net Zero Emission (NZE) Through Petroleum Engineering Technology & Education", Sabtu (27/11/2021).
Dalam rilisnya di Jakarta, Minggu, Menteri Arifin mengatakan konsumsi energi dari EBT akan terus melonjak dalam beberapa dekade ke depan.
Proyeksi tersebut membuka ruang bagi pemerintah dalam mengembangkan EBT sebagai prioritas utama guna meningkatkan ketahanan energi nasional jangka panjang, sekaligus selaras dengan komitmen dunia dalam menekan laju pertumbuhan emisi gas rumah kaca.
Hal senada disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam seminar tersebut. Ia menyampaikan pentingnya menjaga pertumbuhan ekonomi berbasis pembangunan rendah karbon.
"Pertumbuhan ekonomi perlu dijaga dan hal ini menjadi momentum untuk melakukan transisi ekonomi hijau dengan memprioritaskan pembangunan rendah karbon yang inklusif dan berkeadilan," ungkapnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto menguraikan adanya penguatan indeks ketahanan energi nasional dari tahun ke tahun.
Saat ini, indeks ketahanan energi nasional berada di angka 6,57 atau masuk kondisi tahan yang berkisar antara 6-7,99.
"Kenapa kita belum mencapai kategori sangat tahan? Sebab dua aspek ini yaitu accessibility dan acceptability masih kurang, meskipun pemerintah telah membangun infrastruktur gas, program BBM satu harga, membangun SPBU kecil di daerah 3T. Sedangkan, untuk aspek acceptability, terkait dengan lingkungan," katanya.
Menyangkut acceptability ini, Djoko menyampaikan pengembangan EBT di Indonesia pada 2020 telah mencapai 11,2 persen atau meningkat dibandingkan 2015 yang hanya empat persen.
"Kita menuju 23 persen di 2025. Artinya, kalau kita melakukan business as usual, mudah-mudahan ini bisa tercapai dan di 2050 sudah 31 persen, kemudian di 2060 di mana kita punya target net zero emission, mudah-mudahan EBT sudah di atas 50 persen," harapnya.
Pengukuran ketahanan energi menggunakan aspek 4A yakkni availability, affordability, accessibility, dan acceptability, serta metode pembobotan menggunakan AHP atau analisa hierarchy process.
Aspek availability adalah ketersediaan sumber energi dan energi baik dari domestik maupun luar negeri. Selanjutnya, affordability yaitu keterjangkauan biaya investasi energi, mulai dari biaya eksplorasi, produksi dan distribusi, hingga keterjangkauan konsumen terhadap harga energi.
Kemudian, aspek accesibility adalah kemampuan untuk mengakses sumber energi, infrastruktur jaringan energi, termasuk tantangan geografis dan geopolitik.
Sedangkan, aspek acceptability adalah penggunaan energi yang peduli lingkungan baik darat, laut dan udara, termasuk penerimaan masyarakat.
Dukungan transisi energi, sambung Djoko, secara umum dapat dilakukan melalui regulasi harga gas sebesar enam dolar AS/MMBTU, Rancangan Undang-Undang tentang EBT, dan Rancangan Peraturan Presiden tentang Harga EBT.
Tak hanya itu, terdapat beberapa dukungan lain dari pemerintah, seperti penyusunan Rancangan Perpres Cadangan Penyangga Energi, zero flaring gas, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN 2021-2030, dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap.
Di sisi lain, Rektor ITB Reini Wirahadikusumah menjelaskan Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai target NZE pada 2060 atau lebih cepat, yang salah satunya dengan pengembangan pengetahuan mengenai carbon capture and storage (CCS) dan carbon capture, utilization, and storage (CCUS), yang dapat berkontribusi dalam tujuan pencapaian NZE tersebut.