Susi minta Perpres 44/2016 diperjuangkan demi jaga kedaulatan laut RI
Yogyakarta (ANTARA) - Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti meminta Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 kembali diperjuangkan demi menjaga kedaulatan sumber daya laut di Tanah Air.
"Saya berdoa supaya yang saya bicarakan hari ini terpatri dan terekam untuk anak-anak kita Bangsa Indonesia sehingga Perpres Nomor 44 Tahun 2016 diperjuangkan kembali," kata Susi saat memberikan pidato kunci secara daring dalam diskusi bertajuk "Kapling Laut Nasib Nelayan Diombang-ambing Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur" di Kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Sabtu.
Menurut Susi, Perpres yang menutup perikanan tangkap Indonesia untuk asing itu perlu diterapkan kembali mengingat penangkapan ikan oleh kapal-kapal mancanegara mulai muncul kembali di perairan Indonesia.
"Perpres Nomor 44 ini secara resmi ditandatangani oleh Pak Jokowi dalam rangka penangkapan ikan hanya untuk perusahaan Indonesia, uang Indonesia, orang Indonesia, kapal buatan Indonesia," kata dia.
Dia menuturkan pada 2015 omzet nelayan lokal di Natuna, Kepulauan Riau bisa mencapai tidak kurang Rp2 miliar per hari atau Rp1 triliun-Rp4 trililun per tahun dari hasil penangkapan gurita di tepi pantai hanya dengan menggunakan bambu dan kail.
"Waktu itu kita jaga, kapal-kapal asing tidak berani turun ke bawah karena kalau turun urusannya saya tenggelamkan," ujar dia.
Meski demikian, Susi menduga karena kapal China dan Vietnam belakangan ini mulai muncul kembali di perairan Natuna, maka keuntungan besar itu sulit didapatkan kembali.
"Sekarang cari satu kilogram gurita tidak ada lagi, uang Rp4 triliun hilang dari Natuna," kata dia.
Di wilayah tempat tinggalnya di Pangandaran, Jawa Barat, Susi juga mengaku kesulitan mencari lobster padahal pada tahun 2000-an masih bisa mendapatkan stok lobster dari nelayan hingga sekitar dua ton per hari.
"Sekarang bayangkan saya minta cari pakai motor di Pangandaran enggak ada karena bibitnya diambil. Itu adalah salah satu contoh (pentingnya) keberlanjutan yang saya tekankan," kata dia.
Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014-2019 itu menegaskan bahwa Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 merupakan salah satu upaya menerjemahkan visi-misi Presiden Joko Widodo yang ingin menjadikan laut sebagai aset masa depan sebuah bangsa dan menempatkan Indonesia menjadi episentrum maritim dunia.
Sebagai negara yang memiliki panjang pantai 97.000 kilometer atau nomor dua di dunia, visi-misi tersebut sangat relevan dan perlu diwujudkan untuk mengelola kekayaan sumber daya laut Indonesia.
"Kalau satu kilometer (garis pantai) itu menghasilkan Rp10 miliar saja, maka setahun sudah berapa triliun, jadi (nilainya) bukan kecil-kecil," kata dia.
Untuk mewujudkannya, kedaulatan dan keberlanjutan pengelolaan laut Indonesia adalah prasyarat utama yang pada masanya diatur dalam Perpres itu. "Tanpa kedaulatan anda bisa ngomong apa," kata dia.
"Saya berdoa supaya yang saya bicarakan hari ini terpatri dan terekam untuk anak-anak kita Bangsa Indonesia sehingga Perpres Nomor 44 Tahun 2016 diperjuangkan kembali," kata Susi saat memberikan pidato kunci secara daring dalam diskusi bertajuk "Kapling Laut Nasib Nelayan Diombang-ambing Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur" di Kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Sabtu.
Menurut Susi, Perpres yang menutup perikanan tangkap Indonesia untuk asing itu perlu diterapkan kembali mengingat penangkapan ikan oleh kapal-kapal mancanegara mulai muncul kembali di perairan Indonesia.
"Perpres Nomor 44 ini secara resmi ditandatangani oleh Pak Jokowi dalam rangka penangkapan ikan hanya untuk perusahaan Indonesia, uang Indonesia, orang Indonesia, kapal buatan Indonesia," kata dia.
Dia menuturkan pada 2015 omzet nelayan lokal di Natuna, Kepulauan Riau bisa mencapai tidak kurang Rp2 miliar per hari atau Rp1 triliun-Rp4 trililun per tahun dari hasil penangkapan gurita di tepi pantai hanya dengan menggunakan bambu dan kail.
"Waktu itu kita jaga, kapal-kapal asing tidak berani turun ke bawah karena kalau turun urusannya saya tenggelamkan," ujar dia.
Meski demikian, Susi menduga karena kapal China dan Vietnam belakangan ini mulai muncul kembali di perairan Natuna, maka keuntungan besar itu sulit didapatkan kembali.
"Sekarang cari satu kilogram gurita tidak ada lagi, uang Rp4 triliun hilang dari Natuna," kata dia.
Di wilayah tempat tinggalnya di Pangandaran, Jawa Barat, Susi juga mengaku kesulitan mencari lobster padahal pada tahun 2000-an masih bisa mendapatkan stok lobster dari nelayan hingga sekitar dua ton per hari.
"Sekarang bayangkan saya minta cari pakai motor di Pangandaran enggak ada karena bibitnya diambil. Itu adalah salah satu contoh (pentingnya) keberlanjutan yang saya tekankan," kata dia.
Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014-2019 itu menegaskan bahwa Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 merupakan salah satu upaya menerjemahkan visi-misi Presiden Joko Widodo yang ingin menjadikan laut sebagai aset masa depan sebuah bangsa dan menempatkan Indonesia menjadi episentrum maritim dunia.
Sebagai negara yang memiliki panjang pantai 97.000 kilometer atau nomor dua di dunia, visi-misi tersebut sangat relevan dan perlu diwujudkan untuk mengelola kekayaan sumber daya laut Indonesia.
"Kalau satu kilometer (garis pantai) itu menghasilkan Rp10 miliar saja, maka setahun sudah berapa triliun, jadi (nilainya) bukan kecil-kecil," kata dia.
Untuk mewujudkannya, kedaulatan dan keberlanjutan pengelolaan laut Indonesia adalah prasyarat utama yang pada masanya diatur dalam Perpres itu. "Tanpa kedaulatan anda bisa ngomong apa," kata dia.