Urai kemacetan Jakarta via ERP

id erp jakarta,kemacetan jakarta,sistem erp jakarta,jalan berbayar jakarta,solusi kemacetan jakarta,dki jakarta

Urai kemacetan Jakarta via ERP

Kendaraan bermotor melintas di bawah alat Sistem Jalan Berbayar Elektronik (ERP) di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (2/3/2020). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/ama/aa.

JAKARTA (ANTARA) - Bergentayangan sejak dini hari
Dari semua sudut kota ini
Menghindari panas matahari
Dalam lomba berburu rejeki

Tak ada lagi yang berjalan kaki
Naik bajaj atau metromini
Semua orang punya motor satu
Dari majikan sampai pembantu

Itulah sepenggal lagu berjudul "Jakarta Motor City" dari Sir Dandy yang menggambarkan warga Jakarta tak terpisahkan kehidupannya dari kendaraan bermotor.

Apalagi untuk mencari rejeki, kendaraan bermotor memang masih jadi primadona warga Jakarta, disamping dinilai lebih ekonomis. Tak perlu banyak syarat, warga sangat mudah memiliki kendaraan bermotor pribadi di DKI.

Saat ini, macet di ibu kota masih seperti benang kusut yang sulit terurai seiring jumlah kendaraan bermotor yang mengaspal di jalanan kian meningkat.

Tak heran memang pada pertengahan 2023 saja, tercatat 23 juta kendaraan di Jakarta berseliweran di jalanan setiap hari. Polda Metro Jaya menyebutkan bahwa jumlah itu meningkat dua hingga tiga persen per tahunnya. Dari 23 juta itu sekitar 70 persen atau 17 juta didominasi oleh kendaraan roda dua.

Setiap harinya suara saut-sautan klakson menjadi hal yang biasa di Jakarta. Mulai dari gelap buta di pagi hari hingga senja tenggelam seakan tak ada hentinya suara klakson terdengar.

Oleh karena itu, kemudian muncul sebuah ungkapan "Jakarta itu kalo enggak macet, ya macet banget".

Bukan soal macet saja yang tak kunjung selesai, dampak dari membludaknya kendaraan di Jakarta juga berdampak pada soal ancaman polusi udara. Indeks pemantau kualitas udara menunjukkan Jakarta tak pernah keluar dari angka sepuluh besar di dunia dengan kualitas udara terburuk dalam beberapa bulan terakhir.

Sebenarnya sejumlah langkah terus dilakukan pemerintah untuk mengurangi kendaraan di Jakarta. Mulai dari integrasi transportasi umum di Jakarta, kebijakan three in one (3 in 1) dan saat ini ganjil-genap (Gage) hingga pemberlakuan kembali tilang uji emisi untuk kendaraan yang tak memenuhi indeks nilai standar gas buang ramah lingkungan.

Sejumlah kebijakan ini dinilai belum mampu mengendalikan lalu lintas yang padat dan macet di sejumlah ruas jalan di Jakarta.

Kepadatan lalu lintas pada hari kerja di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Kamis (24/8/2023). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa/aa.

Satu kebijakan yang telah diwacanakan sejak lama yakni soal rencana penerapan kebijakan jalan berbayar elektronik atau Electronic Road Pricing (ERP) patut dicoba untuk mengurai kemacetan di Ibu Kota.

Sejatinya, ERP bukanlah cara baru dalam mengendalikan kemacetan lalu lintas. ERP merupakan bagian dari konsep smart city dan smart driving. ERP sebagai dasar kota cerdas tanpa kemacetan jalan akut dan pengendara atau pengguna jalan cerdas akan mampu memilih moda apa yang akan digunakan untuk bermobilitas menuju tujuannya.


ERP solusi kemacetan

Rencana penerapan ERP sudah diwacanakan sejak era Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, dengan terbitnya Peraturan Gubernur Nomor 103 tahun 2007 tentang Pola Transportasi Makro.

Kebijakan itu bagaikan pisau bermata dua karena di satu sisi ERP dapat menjadi solusi kemacetan sekaligus memberikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk DKI Jakarta. Namun, di sisi lain kebijakan tersebut terhambat dalam sosialisasi dan meyakinkan masyarakat karena dinilai
memberatkan perekonomian masyarakat. Untuk itu, ERP adalah kebijakan yang sangat tidak populer.

Tidak banyak kota yang menerapkan ERP, karena sulitnya mendapatkan dukungan politisi dan masyarakat. Contohnya di Stockholm, Swedia untuk menerapkan ERP, mereka melakukan referendum untuk mendapatkan persetujuan dari masyarakat.

Singapura bisa menerapkan ERP karena pemerintahnya berkomitmen kuat soal transportasi publik kemacetan dan penetapan kebijakan yang otoriter.

Berkaca dari Singapura adalah negara pertama yang mengaplikasikan ERP tahun 1998, awalnya disebut urban road user charging.

Sebelum ERP, Singapura menggunakan Area Licensing Scheme (ALS). Tahun 1998, ALS diganti dengan Electronic Road Pricing (ERP). Jenis pemungutan berada pada di 42 titik pembayaran. Tarif yang dikenakan antara 0,40 dolar Amerika Seritkat (AS) hingga 6,20 dolar AS, beroperasi mulai jam 07.00 hingga 21.30 dan tarif bisa berubah sesuai dengan jam.

Pemasukan bruto per tahun 65 juta dolar AS dan biaya operasional 12,25 juta dolar AS atau 19 persen. Terjadi penurunan lalu lintas pada peak dan off peak sebesar 25 persen.

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menanti penerapan ERP guna mengurai kemacetan Jakarta

Pewarta :
Editor: Herry Soebanto
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.