Waspadai gelombang penyelundupan yang mengatasnamakan Rohingya

id Pengungsi Rohingya, Aceh,Ngasiman Djoyonegoro, Polhukam

Waspadai gelombang penyelundupan yang mengatasnamakan Rohingya

Imigran etnis Rohingya menangis menutup wajahnya saat akan dipindah paksa dari penampungan sementara gedung Balai Meuseuraya Aceh (BMA), Banda Aceh, Aceh, Rabu (27/12/2023). Sebanyak 137 pengungsi imigran etnis Rohingya yang ditempatkan di penampungan sementara gedung BMA tersebut dipindahkan paksa oleh mahasiswa setelah menggelar aksi damai ke kantor Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Aceh. ANTARA FOTO/Ampelsa/foc.

Jakarta (ANTARA) - Analis intelijen, pertahanan dan keamanan, Ngasiman Djoyonegoro memperingatkan kepada pemerintah untuk mewaspadai gelombang pengungsian atau penyelundupan orang yang mengatasnamakan Rohingya sehingga dapat menjadi masalah yang semakin besar dan lebih serius pada kemudian hari.

"Belakangan ini arus pengungsi yang mengatasnamakan Rohingnya semakin deras. Mereka diduga sengaja ke Indonesia sebagai negara tujuan. Bukan negara transit. Dugaan kuat mereka adalah berasal dari Camp Cox Bazar, lokasi pengungsian terbesar di Bangladesh," katanya kepada media di Jakarta, Jumat.
 
Pria yang akrab disapa Simon itu menegaskan bahwa keresahan dan protes rakyat Aceh terhadap perilaku para pengungsi ini seharusnya lebih didengarkan sebagai prioritas. Warga Aceh, kata Simon, telah dirugikan dengan berbagai tindakan kriminal yang dilakukan oleh para pengungsi.
 
“Gelombang pengungsian ini bukan alamiah, tetapi ada upaya penyelundupan para pengungsi ke Indonesia ,” tegas Simon.
 
Simon menjelaskan bahwa para pengungsi ini diduga berasal dari Camp Cox Bazar, Camp pengungsian di Bangladesh yang telah penuh sesak dan banyak persoalan sosial, kesehatan, dan kriminalitas yang tinggi, sehingga mereka berbondong-bondong ke Indonesia.
 
“Ada indikasi bahwa para pengungsi sengaja merusak kapal mereka mendekati pantai Aceh dengan memanfaatkan celah aturan pada Perpres 125 Tahun 2016, yaitu bahwa aparat wajib menolong kapal pengungsi bila dalam situasi darurat," terangnya.
 
Menurut Simon, ada jaringan sindikat di balik pengungsian ini dan saat ini pihak kepolisian telah menangani lima kasus.
 
Simon mencontohkan temuan Polres Aceh Timur dimana dari 50 pengungsi yang masuk semuanya laki-laki, 28 pengungsi berkewarganegaraan Bangladesh, 3 berpaspor Banglades.
 
Persoalannya, tambah Simon, Indonesia bukan negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsian 1951. Artinya tidak ada kewajiban bagi Indonesia untuk menampung para pengungsi Rohingya.
 
“Indonesia sadar sejak awal bahwa negara kepulauan dengan pintu masuk yang sangat terbuka, rawan terjadi penyelundupan manusia yang dapat mengganggu ketertiban sosial. Maka dari itu, Indonesia tidak meratifikasi,” kata Rektor Institut Sains dan Teknologi al-Kamal itu.
 
"Kita harus bersimpati kepada Warga Aceh yang baru pulih dari berbagai ujian (bencana Tsunami dan GAM) tiba-tiba datang pengungsi yang bikin rusuh di wilayahnya,” kata Simon.
 
Simon menyarankan bahwa agar pemerintah Indonesia mendesak UNHCR bertanggungjawab atas situasi ini sebagai persoalan internasional.
 
"Jangan sampai hubungan Indonesia dengan negara-negara yang terlibat, seperti Myanmar dan Bangladesh menjadi tidak baik," lanjutnya.
 


Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Analis: waspadai gelombang penyelundupan yang mengatasnamakan Rohingya
Pewarta :
Editor: Mahmudah
COPYRIGHT © ANTARA 2024