Jakarta (ANTARA) - Dosen Program Studi Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Arsanti Wulandari mengatakan sosok Pahlawan Indonesia, Diponegoro, merupakan pemersatu budaya Arab dan Jawa sebagaimana tertulis dalam Babad Ngayogyakarta.
"Diponegoro mengharuskan Hamengkubuwono IV (raja keempat Kesultanan Yogyakarta) untuk mengajar huruf-huruf Jawa dan Arab setiap hari, membaca sastra Jawa. Arab dan Jawa dikenalkan Diponegoro sebagai hal yang tidak boleh dilupakan, di sana ada agama dan budaya yang harus berjalan seimbang," kata Arsanti dalam Siaran Widya Bahana Swara Perpustakaan Nasional (Perpusnas) yang diikuti dalam jaringan di Jakarta, Selasa.
Ia menjelaskan, Hamengkubuwono (HB) IV dalam Babad Ngayogyakarta menyatakan memang ada bahasa lain yang harus dipelajari, misalnya Melayu, Inggris, dan Belanda. Namun, tujuan utama Diponegoro yakni mempersiapkan HB-IV untuk menjadi raja, sehingga HB-IV perlu rajin mengaji dan belajar agama untuk menjadi pemersatu bagi rakyatnya.
"Belanda waktu itu memang mendatangkan guru untuk belajar Bahasa Asing. Namun, Diponegoro menyiapkan HB IV untuk siap menjadi raja, sehingga perlu belajar bahasa Jawa dan Arab. Dia (HB IV) harus rajin mengaji dan belajar agama," ucapnya.
Arsanti melanjutkan, Babad Ngayogyakarta juga mengisahkan tentang perjuangan Diponegoro dalam melawan kolonialisme Belanda, di mana ia diberikan status sebagai kraman yang berarti pemberontak.
"Diponegoro dikisahkan menjadi wali dari HB IV, namun, pada Babad tersebut berbunyi sudah mulai terlihat ketidakcocokan antara Diponegoro dengan pihak istana, di mana dalam pengambilan-pengambilan keputusan, ia sudah mulai dilompati. Ada banyak keputusan yang tidak melalui beliau, ketika ada pertemuan atau diskusi, tiba-tiba ada keputusan yang tidak melibatkan Diponegoro, termasuk pajak, yang akhirnya menjadi pemicu perang Jawa," paparnya.
Ia mengemukakan, label pemberontak disematkan pada Diponegoro karena dirinya dilihat sebagai orang yang tidak sejalan dengan konsep kolonial.
"Dalam konsep kraman, ada penggabungan antara religius dan humanitas, di mana nilai yang dianut yakni bela negara atau satria, atau protes terhadap hal-hal yang tidak seharusnya dan membela rakyat, dengan metode gerilya atau berpindah-pindah agar keberadaan Diponegoro sulit terdeteksi," tuturnya.
Selain perlawanan terhadap kolonialisme, Babad Ngayogyakarta juga menceritakan tentang pengumpulan kekuatan rakyat untuk berperang melawan kafir atau yang dalam Islam dikenal dengan fi sabilillah.
"Konsep beliau adalah menegakkan Islam. Jadi, Diponegoro selain dikenal sebagai kraman yang menentang Belanda, Babad tersebut juga mengisahkan dirinya yang mengajak masyarakat untuk berperang melawa kafir, yang merupakan ajakan atau simbol penting dalam ajaran Islam," kata Arsanti.