"Mungkin Kita Perlu Waktu" kisahkan kerugian pola asuh narsistik

id gangguan kepribadian, narsistik, Mungkin Kita Perlu Waktu, Lukman Sardi, film bioskop

"Mungkin Kita Perlu Waktu" kisahkan kerugian pola asuh narsistik

ilustrasi - Amber Heard punya gangguan kepribadian, kata psikolog di persidangan. Antaranews

Makna mendalam

"Mungkin Kita Perlu Waktu," sebuah judul yang tampak sederhana, namun menyimpan makna yang sangat dalam.

Kesederhanaan justru menjadi kekuatan narasi film, karena di dalamnya terkandung potensi untuk menyampaikan kisah yang kuat dan menggugah tentang perjalanan panjang menuju penyembuhan, pemahaman, dan rekonsiliasi.

Narasi yang dibangun Teddy Soeriaatmadja tidak hanya bertumpu pada durasi film yang berjalan sekitar 95 menit, melainkan pada kedalaman emosional dan psikologis dari setiap karakter dan situasi yang dihadirkan.

Trauma masa lalu yang membayangi keluarga Kurniawan, beban ekspektasi dan tekanan dalam keluarga, serta perjuangan individu dengan masalah kesehatan mental adalah isu-isu kompleks yang tidak dapat diselesaikan dalam sekejap.

Film ini dengan cerdas menggambarkan bahwa proses pemulihan membutuhkan ruang untuk berduka dan merenung, kesabaran dalam menghadapi naik turunnya emosi, dan yang terpenting, waktu untuk memproses luka dan membangun kembali harapan.

Sebagai seorang sutradara yang memiliki latar belakang akademik di bidang "human behaviour", Teddy Soeriaatmadja menunjukkan kepekaan yang luar biasa dalam menggarap film ini.

Ia seperti menarik penonton untuk ikut menyelami nuansa-nuansa psikologis yang halus, memasuki ruang abu-abu di antara hitam dan putih dalam setiap tindakan dan keputusan karakter.

Penonton diajak untuk melihat lebih dalam luka-luka batin yang mungkin tidak terlihat secara kasat mata, merasakan ketegangan yang sering kali tersembunyi di balik kata-kata, dan menangkap secercah harapan yang mungkin masih tersembunyi di balik fasad kehidupan sehari-hari yang tampak biasa saja.

Film "Mungkin Kita Perlu Waktu" tidak hanya menyajikan drama keluarga yang menyentuh, tetapi juga mengoyak empati dan kepekaan penonton.

Melalui kisah keluarga Kurniawan, penonton diajak untuk merenungi bahwa terkadang, dalam hubungan yang terluka dan proses penyembuhan yang panjang, waktu bukanlah sekadar dimensi temporal, melainkan sebuah elemen penting dalam proses pemulihan dan penemuan jati diri yang sejati.

Baca juga: Thunderbolts dan kesehatan jiwa, ubah pertempuran jadi pemulihan

Pada akhirnya, kita semua, mungkin hanya membutuhkan waktu untuk memahami, memaafkan, dan menyembuhkan.

Sementara itu, film ini juga memberikan perspektif penting tentang dampak jangka panjang dari pola pengasuhan narsistik pada anak-anak.

Putra-putri dari orang tua dengan gangguan kepribadian narsistik (NPD) diperlihatkan tumbuh tanpa mendapatkan validasi emosi dan dukungan yang memadai.

Mereka belajar untuk menekan perasaan mereka, mencari validasi dari dunia luar, dan kesulitan membangun hubungan yang sehat dan setara di kemudian hari.

Contoh perilaku NPD dari orang tua seperti melarang anak untuk menangis dan dianggap "lemah" jika menunjukkan kemarahan atau kekecewaan, serta menyuruh diam agar tidak mengungkapkan perasaan negatif. Akibatnya, anak belajar untuk menekan emosi mereka, mengembangkan rasa tidak aman dalam diri, dan terus-menerus mencari validasi dari orang lain untuk merasa berharga.

Dalam konteks film, Kasih pun kemungkinan besar tumbuh dengan ekspektasi tinggi terhadap agama dan nilai-nilai kesempurnaan, yang mungkin diturunkan dari orang tuanya.

Hal ini membuatnya cenderung menuntut kesempurnaan dari anaknya dan merasa gagal sebagai orang tua ketika Ombak mengalami kesulitan. Tanpa disadari, Kasih mungkin saja meneruskan siklus narsistik yang pernah dialaminya.

Baca juga: Film horor "Angkara Murka" tayang di bioskop 22 Mei

Untuk mengakhiri siklus generasi narsistik yang merusak ini dan mewujudkan generasi yang lebih sehat secara emosional, langkah pertama adalah kesadaran diri seperti yang ditunjukkan dalam film "Mungkin Kita Perlu Waktu".

Diperlihatkan bahwa Kasih dan Restu merasa perlu ruang pengasuhan yang terpisah satu sama lain untuk menyadari pola perilaku disfungsional yang mungkin mereka warisi dan dampaknya terhadap anaknya.

Langkah kedua adalah mencari bantuan profesional jika diperlukan, seperti terapi psikologis, serta jujur saat memproses luka masa lalu dan mengembangkan pola perilaku yang lebih sehat. Film tersebut mengilustrasikan bahwa keberhasilan terapi psikologis bergantung pada kejujuran klien terhadap masalah utama yang mengganggu diri mereka sendiri.

Langkah ketiga adalah menerapkan pola asuh yang penuh empati, yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan emosional anak, memberikan dukungan tanpa syarat, dan menghargai individualitas mereka.

Proses pengasuhan anak yang penuh empati, seperti yang mungkin diimplikasikan dalam perjalanan karakter dalam film "Mungkin Kita Perlu Waktu," meliputi sejumlah tahapan penting.

Pertama, orang tua perlu menyadari luka masa lalu mereka sendiri dan pola perilaku yang mungkin diturunkan dari generasi sebelumnya.

Baca juga: Film "Dendam Malam Kelam" tayang 28 Mei

Kedua, mereka perlu mencari bantuan profesional jika diperlukan untuk menyembuhkan luka tersebut dan belajar cara berinteraksi yang lebih sehat.

Ketiga, orang tua perlu memberikan ruang dan kebebasan bagi anak untuk berekspresi dan berkembang sesuai dengan potensi unik mereka, tanpa memaksakan ekspektasi yang tidak realistis.

Terakhir, orang tua perlu belajar mendengarkan anak dengan empati dan tanpa menghakimi, memberikan dukungan dan penerimaan, terutama saat anak mengalami kegagalan.

Pesan yang ingin disampaikan film ini mungkin adalah ajakan untuk menjadi generasi yang mengakhiri siklus narsistik, bukan meneruskannya.

Kita mungkin tidak bertanggung jawab atas luka masa lalu yang kita alami, tetapi kita memiliki tanggung jawab untuk tidak mewariskannya kepada generasi berikutnya.

Seorang ibu yang menyadari bahwa ia dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kritik dan kurang kasih sayang, misalnya, dapat belajar mengembangkan rasa welas asih pada diri sendiri dan membesarkan anaknya dengan empati, bukan dengan harapan yang tinggi dan tuntutan yang tidak realistis.

Dengan kesadaran dan upaya yang berkelanjutan, siklus narsistik yang merusak ini dapat dihentikan, membuka jalan bagi generasi yang lebih sehat dan bahagia.

Baca juga: Menbud Fadli Zon sebut Film jadi diplomasi dan citra perkembangan budaya Indonesia



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Film "Mungkin Kita Perlu Waktu" kisahkan kerugian pola asuh narsistik

Pewarta :
Editor: Nur Istibsaroh
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.