Meneguhkan peran media suarakan isu kawasan

id ERIA,EAMC,peran media,jurnalis,isu kawasan,jurnalis ASEAN,media ASEAN Oleh Hanni Sofia

Meneguhkan peran media suarakan isu kawasan

Penyelenggaraan East Asia Media Caucus (EAMC) oleh Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) di Jakarta, belum lama ini. ANTARA/HO-ERIA

Jakarta (ANTARA) - Dalam dunia yang ditandai oleh ketidakpastian, polarisasi informasi, dan meningkatnya ketegangan geopolitik, jurnalisme tidak lagi hanya berperan sebagai penyampai kabar.

Ia menjadi medan pertarungan gagasan, arena etik, dan bahkan dalam banyak kasus, satu-satunya ruang publik yang masih berani merawat kebenaran.

Di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, yang tengah bergerak cepat menuju integrasi ekonomi namun sekaligus rapuh oleh retakan politik dan lingkungan, peran media bukan sekadar penting, ia menentukan arah sejarah.

Maka penyelenggaraan East Asia Media Caucus (EAMC) oleh Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) tidak datang begitu saja.

Ia muncul dari kesadaran yang mendalam bahwa media, bila dibekali dengan pengetahuan dan jejaring lintas disiplin, dapat menjadi fondasi moral dan intelektual kawasan ini.

Baca juga: Dirpem ANTARA sebut harusnya humas Polri manfaatkan kekuatan jejaring media

Di tengah era digital yang kerap menukar kedalaman dengan kecepatan, dan menggantikan verifikasi dengan viralitas, EAMC menawarkan sesuatu yang justru langka yakni ruang untuk berpikir, menyimak, dan menyelami kompleksitas zaman.

Pertemuan ini tidak hanya mempertemukan jurnalis dan pakar. Ia mempertemukan dua dunia yang sering terpisah, dunia narasi dan dunia kebijakan.

Chief Operating Officer ERIA Toru Furuichi mengatakan, peran jurnalis sangat penting dalam membantu masyarakat memahami isu-isu kompleks dan menjembatani komunikasi antara publik dan pembuat kebijakan.

Ketika dunia yang bekerja dengan bahasa manusia disatukan dalam forum seperti ini bersama dunia yang sibuk dengan rumus, strategi, dan data, lahirlah kemungkinan baru yaitu informasi yang bukan hanya faktual, tapi juga transformatif; bukan hanya benar, tetapi juga bermakna.

Pembahasan isu Myanmar misalnya, bukan semata-mata soal instabilitas politik atau kekerasan militer.

Ia juga tentang bagaimana krisis satu negara dapat menjalar secara sistemik ke negara-negara lain melalui migrasi, perdagangan, jaringan sosial, hingga narasi publik yang membentuk persepsi regional.

Baca juga: Akademisi UGM mendukung realisasi wacana pembentukan Dewan Media Sosial

Ketika jurnalis memahami itu tidak sebagai berita satu hari, tapi sebagai fenomena yang berlapis dan penuh implikasi, maka mereka mulai menulis bukan hanya untuk mengejar eksklusivitas, tetapi untuk menciptakan kesadaran kolektif.

Di titik inilah jurnalisme melampaui dirinya sendiri sebagai profesi dan menjelma menjadi etika publik.

Jurnalisme seperti itu tentu tidak lahir dalam ruang tertutup. Ia butuh ekosistem yang sehat, interaksi lintas sektor, dan yang sering dilupakan kemauan untuk belajar bersama.

Inilah yang dibangun perlahan oleh ERIA melalui Media Welcome Day dan pembukaan akses ke dalam laboratorium-laboratorium pengetahuan mereka.

Ketika pusat seperti Asia Zero Emission Center atau E-DISC diperkenalkan bukan hanya sebagai proyek, tapi sebagai visi bersama yang harus didebatkan dan dikritisi, maka media tidak ditempatkan sebagai penonton, tetapi sebagai mitra strategis dalam membentuk masa depan kawasan.

Namun relasi antara media dan lembaga riset tidak pernah sederhana. Ada ketegangan laten yang mesti diakui bahwa media bekerja dengan waktu yang cepat, sementara riset berjalan lambat, media bicara dalam bahasa emosional yang mudah dipahami publik, sementara riset sering tenggelam dalam abstraksi dan istilah teknis.

Di sinilah pentingnya forum seperti EAMC, yang tidak berpretensi menyelesaikan semua perbedaan itu, tapi berani membukakan ruang dialog yang jujur.

Sebab ketika dialog dimulai dari kesediaan untuk mendengarkan, bukan dari keinginan untuk mendominasi, maka percakapan bisa berubah menjadi pembelajaran.