Celios sarankan BPS perbarui metode pengukuran tingkat kemiskinan yang sudah berusia 50 tahun

id tingkat kemiskinan,garis kemiskinan,angka kemiskinan,penduduk miskin,BPS,Celios,metode pengukuran kemiskinan,metode,peng

Celios sarankan BPS perbarui metode pengukuran tingkat kemiskinan yang sudah berusia 50 tahun

Logo Badan Pusat Statistik. ANTARA Papua/HO-BPS

Jakarta (ANTARA) -
Badan Pusat Statistik (BPS) diminta untuk segera memperbarui metode pengukuran tingkat kemiskinan di Indonesia, yang sudah berusia hampir 50 tahun. Saran ini datang dari Center of Economics and Law Studies (Celios) yang menganggap bahwa metode yang digunakan oleh BPS sudah tidak relevan dengan realitas ekonomi saat ini.

Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar mengungkapkan bahwa BPS pertama kali menggunakan metode ini pada 1984, dengan data dari tahun 1976. Sejak saat itu, tidak ada perubahan signifikan dalam cara pengukuran kemiskinan yang diterapkan, padahal kondisi sosial dan ekonomi Indonesia telah mengalami banyak perubahan besar.

Dalam diskusi publik bertajuk "Sebenarnya Ada Berapa Juta Orang Miskin dan Menganggur di Indonesia?" yang berlangsung secara daring di Jakarta, Media menjelaskan bahwa pendekatan BPS yang menggunakan Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM) masih relevan pada tahun 70-an.

Saat itu, konsumsi masyarakat Indonesia memang lebih banyak mengarah ke kebutuhan pangan, namun, dengan berkembangnya zaman, pendekatan ini dinilai sudah tidak lagi mampu menggambarkan kenyataan ekonomi yang lebih kompleks dan multidimensional.

"Hari ini sudah berbeda. Banyak konsumsi non-makanan yang dulu tidak ada, yang kini sangat esensial, seperti paket internet. Ini menunjukkan perubahan pola konsumsi masyarakat sesuai dengan Hukum Engel, di mana seiring waktu, pengeluaran untuk kebutuhan non-makanan menjadi lebih dominan," kata Media.

Selain itu, Media juga menyoroti ketidaktepatan metode BPS dalam mengukur kesejahteraan masyarakat, karena pengukuran kemiskinan selama ini hanya didasarkan pada pengeluaran, bukan pendapatan. Metode ini dirasa semakin kurang tepat, mengingat saat ini banyak rumah tangga yang mengandalkan utang untuk memenuhi kebutuhan konsumsi mereka.

Baca juga: Pemkab Sleman gandeng sejumlah mitra entaskan kemiskinan melalui pendidikan

"Contohnya, ada rumah tangga yang pengeluarannya bisa mencapai Rp15 juta sebulan, padahal pendapatannya hanya Rp3 juta. Ini terjadi karena mereka memanfaatkan pinjaman daring atau utang lainnya," tambah Media. Dalam kasus seperti ini, meskipun pengeluaran rumah tangga tinggi, belum tentu mencerminkan kemampuan finansial yang sebenarnya.

Lebih jauh, Media juga menilai bahwa data statistik BPS sering kali tidak mencerminkan keadaan sebenarnya, seperti masalah utang dan cicilan. Misalnya, rumah tangga yang memiliki cicilan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang besar, lebih dari 11 persen dari total pengeluaran, sering kali tidak memiliki cukup dana cadangan setelah memenuhi kewajiban tersebut. Namun, karena pengeluaran mereka sudah di atas garis kemiskinan, mereka tidak tercatat sebagai kelompok miskin.

Tidak hanya itu, masalah lainnya adalah pengeluaran pendidikan. BPS menilai keluarga yang mengeluarkan banyak biaya untuk pendidikan sebagai kelompok yang sejahtera, padahal banyak keluarga yang harus menjual aset untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anak mereka.

"Masalah aset ini tidak tertangkap dengan baik di dalam statistik kemiskinan pemerintah," katanya.

Baca juga: Pengamat ekonomi: Klaim 60 persen rakyat Indonesia miskin tidak tepat

Celios pun mengusulkan agar BPS menggunakan pendekatan baru berbasis disposable income, atau pendapatan yang dapat dibelanjakan setelah kebutuhan pokok dan kewajiban dasar dipenuhi. Dengan pendekatan ini, diharapkan dapat mencerminkan kondisi kesejahteraan rumah tangga secara lebih realistis dan adil, serta memperhitungkan berbagai faktor seperti beban keluarga berlapis (sandwich), kebutuhan dasar non-makanan, dan faktor geografis.

Ia juga mengusulkan agar pemerintah menghitung tingkat kemiskinan sebelum dan setelah pajak serta bantuan sosial. "Dengan menghitung kemiskinan sebelum dan setelah kebijakan pemerintah, kita bisa tahu apakah program-program pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) atau Koperasi Desa Merah Putih memberi dampak nyata atau tidak," jelas Media.

Terakhir, Celios mendorong agar pemerintah membangun indikator kemiskinan yang lebih komprehensif dengan menggabungkan indikator pendapatan dan kualitas hidup, agar data yang dihasilkan lebih mencerminkan kondisi nyata di lapangan.

Baca juga: Wabup Sleman tegaskan pendidikan jadi pilar utama penanggulangan kemiskinan

Baca juga: Pemerintah targetkan nol persen kemiskinan ekstrem 2026

Baca juga: LKAP Kulon Progo sarankan pemkab memperbanyak padat karya



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Celios sarankan BPS perbarui metode pengukuran tingkat kemiskinan

Pewarta :
Editor: Nur Istibsaroh
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.