Jakarta (ANTARA) - Tiga pilar informasi bangsa—TVRI, RRI, dan Perum LKBN ANTARA—kini dihadapkan pada tantangan krusial, digempur badai disrupsi digital yang menuntut perubahan besar.
Sebagai media publik, mereka memikul mandat konstitusional menghadirkan informasi berkualitas, memperkuat budaya, dan menjaga keberagaman.
Dunia sudah berubah total; model penyiaran satu arah tergerus konten berbasis algoritma personal, audiens berbondong-bondong pindah ke platform mobile, dan kepercayaan publik menuntut transparansi serta partisipasi aktif.
Tantangan utama bagi mereka bukan sekadar bertahan, melainkan tetap relevan dan menjadi lokomotif informasi publik di era multiplatform yang hiruk pikuk ini.
Sayangnya, TVRI, RRI, dan LKBN ANTARA belum sepenuhnya masuk radar pasar sebagai institusi media menjanjikan secara komersial. Ini wajar, sebab ketiganya memang tidak didesain sebagai korporasi media biasa yang mengejar profit, melainkan sebagai pelayan publik dengan misi kebangsaan luhur.
Ironisnya, ketiga lembaga ini memiliki modal raksasa yang unik, namun semua itu bisa jadi tak berarti jika transformasi tak kunjung dilakukan.
Baca juga: ANTARA Yogyakarta gelar Sharing Seasion bersama pewarta foto
TVRI, misalnya, punya jaringan siaran nasional tak tertandingi dan studio daerah di tiap provinsi, ditambah koleksi konten budaya kaya yang belum tergarap maksimal. RRI punya basis audio luas, menjangkau masyarakat 3T, dengan potensi podcast lokal yang sangat mengena.
LKBN ANTARA adalah satu-satunya kantor berita nasional yang punya legitimasi dan akses langsung ke lembaga negara dan media lokal, menjadikannya gudang informasi otentik tak ternilai.
Masalah mendasar yang membelenggu kelincahan inovasi mereka ada pada birokrasi kaku dan pola pendanaan usang.
Ketiga lembaga ini masih terjebak logika administratif yang kerap bertabrakan dengan semangat inovasi media digital serba cepat.
Sumber pendanaan mayoritas dari APBN membuat mereka tidak fleksibel merespons dinamika pasar.
Namun, solusinya bukan berarti melepas APBN atau menyingkirkan birokrasi; apalagi privatisasi. Yang dibutuhkan adalah rekayasa kelembagaan cerdas: hibridisasi antara kekuatan negara dan kelincahan korporasi. Dengan begitu, mereka bisa bergerak lincah tanpa kehilangan jati diri publik.
Aset digital
Bagi pilar informasi bangsa ini, transformasi digital bukan sekadar adopsi teknologi, tetapi soal keberanian mengubah orientasi dan mentalitas secara total.
Bayangkan TVRI menjadi Netflix-nya konten budaya Indonesia—menayangkan serial dokumenter Nusantara atau sinema pendek lokal via aplikasi streaming modern. RRI bisa membangun ekosistem podcast edukatif atau drama radio digital. Konten live audio interaktif juga bisa jadi senjata baru.
Baca juga: Komisi VII DPR minta TVRI, RRI dan ANTARA tingkatkan produk berkualitas
Sementara itu, LKBN ANTARA dapat bertransformasi menjadi hub konten multimedia yang menjual infografik interaktif, video pendek explainer, dan visual storytelling berstandar tinggi untuk media lokal, pemerintah, dan sektor swasta, mengkapitalisasi aset data serta kredibilitas informasinya.
Lebih dari inovasi internal, ketiga lembaga ini perlu menyingkirkan kompetisi tak produktif dan membangun sinergi kuat antarmereka. Coba bayangkan jika laporan investigasi Antara diproduksi jadi serial dokumenter memukau oleh TVRI, lalu dibahas dalam dialog publik mendalam oleh RRI, dengan partisipasi aktif masyarakat melalui platform digital.
Kolaborasi lintas format dan platform ini tidak hanya akan memperkuat posisi mereka sebagai penyedia konten berkualitas, tetapi juga menciptakan ekosistem media publik yang terintegrasi dan berdaya.
Model hibrida
Penerapan model bisnis hibrida menjadi kunci krusial mengatasi tantangan pendanaan dan mendongkrak kelincahan inovasi pilar informasi bangsa.
Ketergantungan pada APBN seringkali membuat mereka kurang gesit dan sulit menyaingi media swasta dalam fleksibilitas operasional.
Lembaga ini seharusnya membangun model bisnis hibrida dengan menawarkan layanan konten B2B (Business-to-Business), menyelenggarakan pelatihan media, memproduksi konten edukasi komersial, hingga mengembangkan model membership publik berbasis nilai dan dukungan komunitas.
Skema ini sudah berhasil dijalankan oleh BBC di Inggris, di mana lembaga penyiaran publik itu dibiayai oleh TV License Fee namun punya unit komersial bernama BBC Studios yang sukses memproduksi konten global dan mengembalikan pendapatan untuk memperkuat layanan publiknya.
Baca juga: Ombudsman DIY berkunjung ke Perum LKBN ANTARA
Transformasi ini tidak akan melanggar hukum, menghilangkan fungsi negara, atau mengorbankan independensi redaksional; yang berubah hanyalah cara berpikir dan kerja lembaga-lembaga ini.
Media publik harus melayani publik dengan cara yang mereka sukai hari ini: menyajikan konten visual kuat, narasi otentik yang relevan, dan distribusi digital yang mudah diakses.
Sebagaimana ditegaskan Emily Bell, Direktur Tow Center for Digital Journalism di Columbia University, "Organisasi media pubik harus ber-evolusi melampaui warisan penyiaran untuk menjadi infrastruktur informasi sipil yang responsif, partisipatif, dan berorientasi pada audiens."
Relevansi pilar informasi bangsa tidak bisa lagi didapat hanya dengan nostalgia; ia harus dibangun dengan kinerja, kepercayaan, dan inovasi nyata.
Prof Rasmus Kleis Nielsen, Direktur Reuters Institute for the Study of Journalism, pernah mengatakan, “Masa depan media pubik bergantung pada kemampuannya untuk dianggap relevan dan berharga dalam lingkungan informasi yang kompetitif dan penuh sesak."
Pada akhirnya, disrupsi bukan alasan untuk pasrah, melainkan kesempatan emas untuk berubah dan berevolusi.
TVRI, RRI, dan LKBN ANTARA bisa menjadi tulang punggung informasi bangsa jika berani mengambil jalan tengah: tetap menjadi institusi publik yang diandalkan masyarakat, sekaligus mampu bersaing di ranah digital yang kejam.
Bukan dengan melepas jati diri dan fungsi mulianya, tapi dengan menyesuaikan bentuk dan cara kerja demi menjawab tantangan zaman.
Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Karena publik bukan hanya butuh tontonan atau pendengaran; mereka butuh alasan untuk percaya pada media yang melayani mereka.
*) Rioberto Sidauruk adalah Pemerhati Media dan Transformasi Digital Publik, saat ini bertugas sebagai Tenaga Ahli Komisi VII DPR RI.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Adaptasi pilar informasi bangsa menuju relevansi digital
